Mohon tunggu...
Harfi Hambani
Harfi Hambani Mohon Tunggu... -

jangan iri dengan kelebihan orang lain, semuanya memiliki jalan sendiri dan kamu termasuk orang yang beruntung

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Korupsi sebagai Minyak Pelumas Sistem Ekonomi Indonesia

19 September 2016   19:29 Diperbarui: 19 September 2016   19:35 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tadjuk Rentjana “kompas”, 14 September 1965 dalam Budiman Tanuredjo, 2014 memberikan tanggapan tentang korupsi di tahun 1965 yang menyatakan :

soal pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan bahan pembitjaraan. Jang ditunggu oleh rakjat sekarang bukanlah “pembitjaraan lagi”, tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, tembak!”

Tajuk rencana kompas berjudul “pentjolengan ekonomi” menggambarkan bagaimana koruptor adalah pencoleng ekonomi mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi minyak dan pupuk, dan persidangan salah satu direktur pabrik gula kebon agung di malang gara-gara menerima suap dari pembuatan parit dan pembangunan gedung. Dari peristiwa tersebut membuat semua pihak berefleksi apakah bangsa ini bisa belajar dari satu kasus korupsi ke korupsi lainnya? Apakah bangsa ini serius memberantas korupsi?

Diksi korupsi kali ini akan di diskusikan dengan menggambarkan penglaman aktor-aktor indonesia dalam mengatasi permasalahan korupsi. Yang menyangkut penindakan, diskusi, dan isu pendidikan di dalam maupun di luar negeri. Korupsi pada intinya adalah perampokan uang negara untuk kepentingan pribadi. Namun, dalam prakteknya terjadi sofistifikasi menjadi kolusi, nepotisme, gratifikasi. Istilah itu seakan mengaburkan pemahaman korupsi yang pada intinya adalah perampokan uang rakyat. Dalam pandangan corruption apologist dalam buku korupsi mengorupsi indonesia, korupsi/suap dipandang sebagai insentif agar birokrasi melayani publik dengan sebaik-baiknnya dengan kata lain dipandang sebagai minyak pelumas sistem ekonomi indonesia (grease the wheels).

Korupsi masif pada era reformasi seakan membuka lagi perdebatan bagaimana strategi memberantas korupsi. Ruang diskusi di hotel, kampus, media, termasuk di media sosial, semua berwacana soal korupsi. Kritik soal vonis hakim yang ringan, gagasan soal perlunya pakta integritas, usulan soal pemiskinan koruptor, ada permintaan pemotongan jari, ada ungkapan gantung di monas. Akan tetapi semua itu berhenti pada wacana. Pandangan tentang pentjolengan ekonomi 1965, masih relevan. “ yang ditunggu rakyat bukanlah pembicaraan lagi, melainkan tindakan konkret : tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, dan tembak! Ini masih relevan sampai sekarang untuk memberikan efek jera kepada pelaku.

Korupsi Masalah Sistemik

Kerusakan akibat korupsi sudah sedemikian sempurna. Bangsa ini sulit terbebas dari jerat korupsi karena ini memang ada kaitannya dengan cara indonesia berdemokrasi. Dilihat dari lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pegontrol eksekutif ini sejak era reformasi mempunyai fungsi lain, ikut terlibat dalam pemilihan pejabat publik. Mulai dari hakim MK, Gubernur Bank Indonesia (BI), duta besar, hingga komisioner negara. Tak terkecuali komisioner KPK, mereka ikut terlibat memilih.

DPR tak hanya punya fungsi penganggaran dan legislasi. DPR juga ikut menentukan siapa menjadi apa dalam struktur kenegaraan indonesia. Disisi lain, tidak murah ongkos menjadi anggota DPR. Salah satu potensi muncul dalam kewenangan DPR menetukan pejabat publik. Masih ingat dalam benak bangsa ini, puluhan anggota DPR periode 1999-2004 masuk bui karena menerima cek perjalanan seusai mimilih miranda swaray goeltom sebagai deputi gubernur senior BI.

Ini sekelumit dari sekian kasus korupsi di negeri tercinta kita. Adapun penyebab maraknya korupsi ada kaitannya dengan cara indonesia berdemokrasi. Wakil ketua DPR Purnomo Anung dalam disertasi doktoralnya yang di publikasikan dalam khaerudin (Tinjauan Kompas,2014) menyebutkan “penerapan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif di khawatirkan meningkatkan biaya politik. DPR akan dipenuhi orang yang mengandalakan popularitas atau dukungan finansial ketimbang kader yang berkontribusi dengan membesarkan partai”. Politikus PDI-P pun berani menyimpulkan, potensi penyelenggaraan kekuasaan anggota DPR menjadi terbuka dalam sistem pemilu seperti pada tahun ini merupakan tahun pemilu.

Pola Dan Kecenderungan Korupsi

Ongkos mahal menjadi anggota DPR yang sebenarnya menjadi tidak seimbang dengan pendapatan resmi dari gaji dan tunjangan akhirnya tertutupi dengan korupsi. Mereka yang berhasil menikamati hasil korupsi pun tak jera karena hukumannya di indonesia masih ringan. Pidana penjara jarang menyentuh hukuman maksimal. Ini belum termasuk potongan masa tahanan.

Kasus di atas dalam prakteknya tentu melalui jalur yang sah dan benar secara prosedural dan kasat mata. Oleh karena itu, sebagai upaya early warning dan early detection yang akurat ada tiga pola atau tren pelaku korupsi, pertama : Penganggaran bantuan sosial (Bansos). Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Gelontoran dana bansos dalam jumlah besar tak hanya muncul menjelang pilkada. Dalam pemilu legislatif pun, bansos dalam APBD cenderung naik. Apalagi, DPRD juga terlibat membahas APBD. Sehingga ada kecenderungan DPRD harus di beri imbalan juga karena mereka ikut meloloskan dana bansos besar.

Kedua :Munculnya proyek mercusuar. Bentuk proyek berbagai macam, mulai dari pembangunan landmark kota, gedung pemerintahan, hingga proyek infrastruktur lain. Wakil ketua KPK bambang widjojanto juga menyatakan hal yang sama, “kalau ada proyek mercusuar di daerah, kemungkinan ada kompensasi yang diberikan kepada DPRD yang menyetujui anggarannya”.

Ketiga : Ada kompensasi dalam pembahasan APBD menjelang akhir tahun. Dari berbagai tren korupsi yang dilakukan ada permainan antara legislatif dan eksekutif dalam penganggaran dan pencairannya hingga ke lapangan. Namun, di pusat ada cara-cara yang lebih cangging dan jarang diketahui publik.

Motivasi

Kata bijak yang menyatakan “kita mulai dari diri sendiri” itu memang benar, tapi kalau sendiri yang mulai, apakah 240 juta penduduk yang lain juga sadar untuk melakukannya? Kesadaran pribadi untuk tidak melakukan korupsi memang penting, tetapi juga harus ada kemauan pemerintah untuk tegas memberantas korupsi dan melakukan upaya untuk mengurangi penyebab terjadinya korupsi.

Untuk mengurangi bahkan menghilangkan penyebab korupsi dengan melakukan perbaikan sistem politik, penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu, melaksanakan pendidikan yang baik sehingga bisa membentuk bangsa bermoral, berakhlak mulia dan membudidayakan hidup sederhana, serta memberikan gaji lebih baik kepada PNS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun