Jam besar itu kembali berdenting. Bunyinya keras dan bergema. Setiap kali dentingan dari jam itu berbunyi, suasana akan berubah menjadi sangat hening. Tidak akan ada satu pun terdengar suara selain suara dentingan jam itu.
Arlan menutup matanya sembari mendengarkan jam itu berdenting yang entah sudah ke berapa kalinya. Telapak kakinya bergerak mengikuti tempo yang dihasilkan dari bunyi dentingan jam itu. Mulutnya terlihat komat-kamit seperti tengah merapalkan sebuah mantra suci. Ini adalah aktivitas favoritnya. Menghitung berapa kali dentingan jam itu akan terus berbunyi.Â
Ya, dentingan jam itu selalu berubah. Tidak pernah konsisten dengan jumlah yang pasti. Akibatnya, hal ini menjadi kegiatan yang dilakukan Arlan untuk mengisi waktu luangnya.
"Hari ini berapa kali?" tanya Rohan tiba-tiba. Dia sudah berdiri di sebelah Arlan yang masih saja menutup matanya.
"Umm, mungkin tujuh. Ah, tidak! Ada sembilan kali dentingan. Sama seperti minggu lalu." Arlan menjawab tanpa menoleh.
"Memang sangat sulit untuk ditebak." Rohan mengomentari. Matanya tertuju ke hiasan-hiasan yang terukir di jam besar itu. "Lihat! Hiasan di ujung sana juga bertambah."
Arlan membuka matanya. Dia mengikuti arah yang ditunjuk Rohan. "Kau benar, Rohan. Terlihat aneh."
Rohan mengangkat bahunya. "Tidak pasti. Dan kau benar, jam ini aneh. Selalu berubah. Padahal sebagai jam, harusnya benda itu stabil dan konsisten. Bagaimana akan percaya orang jika melihat jam ini selalu berbeda setiap waktunya?" Mata Rohan tertuju ke arah kaki Arlan. "Kau memakai sepatu tua itu lagi?"
Arlan tidak menanggapi perkataan Rohan. Perhatiannya kini tertuju kepada hiasan yang baru muncul di jam besar itu. Hiasan itu berwarna putih. Seperti bunga yang memiliki enam buah kelopak. Ada lima untaian berwarna hitam yang terjulur dari dalam bunga itu.Â
Tidak hanya satu, ada empat hiasan bunga yang muncul sekaligus. Hiasan itu menggantung di antara angka-angka jam besar.