Malam itu syahdu, malam itu candu. Sebuah memori kembali dihadirkan dari dua insan yang memadu cinta di bawah purnama, tepat di bawah langit Moskow. Meskipun raga kedua insan tersebut tak hadir, tapi dalam sebuah simfoni dan tarian balet dibayangkan kedua anak mereka, Aksan Sjuman yang juga perwakilan dari anggota komite dari Dewan Kesenian Jakarta dibantu oleh Jakarta City Philarmonic membuat pertunjukan musik tersebut layaknya sebuah broadway. Sedangkan putra lainnya, Arya Yudistira Sjuman selaku koreografer yang juga mengajar di Ballet Sumber Cipta membantu menyempurnakan ilmu-ilmu peninggalan dari sang Ibunda menjadi sebuah tarian yang penuh makna, indah, terasa mahal dan juga berkelas.
Malam itu terdapat empat babak, yang pertama berjudul Burung Gelatik, ya benar itu lagu ciptaan dari Saridjah Niung Sudibjo atau yang lebih sering dikenal dengan nama Ibu Sud. Koreografi yang ringan dibawa sangat terampil oleh para ballerina yang sekiranya usianya masih remaja. Menggunakan kostum layaknya burung gelatik dan warna-warna yang aestetik membuat para pengunjung disana berdecak kagum. Saya sempat memandang seseorang wanita yang duduk di depan saya tengah menggambar komposisi warna-warna kostum sedari awal hingga akhir tarian. Well, cara lain untuk menikmati seni dengan sebuah seni yang baru. Tidak perlulah merekam sebuah pertunjukkan seni dari awal hingga akhir hanya demi sebuah eksistensi.
Setelah itu babak kedua pun dimulai, dengan suasana yang mirip dengan film Frozen dengan nuansa salju dan belantara pinus diakhiri dengan adegan Sang Pangeran dan Peri Gula-Gula. Babak ini dinamakan Sang Pemecah Kenari. Sama dengan Burung Gelatik, Sang Pemecah Kenari menyejukkan mata dengan warna-warna yang mengasyikkan ditambah koreografi dari sang Maestro, Farida Oetoyo.
Setelah itu masuk masa rehat selama 15 menit, lalu acara dilanjutkan ke sesi yang lebih 'serius' dan yang paling saya berkesan yakni yang berjudul "...dan pertama kalinya bulan purnama" Masuklah sepasang insan, kala itu Moskow tengah memasuki musim dingin, dengan gerakan demi gerakan keduanya saling berkenalan, dipadu dengan simfoni "Konserto Piano dalam G mayor: Adagio assai" milik komposer klasik Maurice Ravel. Koreografi yang dibuat manis dan menarik oleh Arya Yudistira Sjuman, dan piano yang dimainkan syahdu oleh Harimada Kusuma. Pemikiran yang meledak-ledak lalu berakhir  dengan sebuah keindahan yang syahdu, mungkin itu yang dimaksud oleh Maurice Ravel. Ravel sendiri pernah berucap bahwa musik harusnya lebih mendahulukan perasaan emosional, lalu berakhir dengan sebuah intelektualitas yang berjudul karya.Â
Klimaks pun diakhiri ke babak terakhir yaitu yang berjudul Serdtse yang bermakna jantung. Bagian ini terinspirasi oleh pengalaman Farida Oetoy sendiri saat didiagnosis menderita penyumbatan pembuluh darah jantung sehingga mengharuskan beliau melakukan operasi angioplasty untuk membuka penyumbatan koroner. Setelah melewati proses media, sang maestra segera bangkit untuk membuat koreografi yang mengilustrasikan pengalaman tersebut. Tak tanggung-tanggung, khusus adegan ini Aksan Sjuman yang langsung mengkomando bagian tersebut dalam 5 bagian, dibantu oleh Fadan Iskandar dan juga Suthipong Tantivanichkij selaku pengaba. Koreografi pun beranjak menjadi hal-hal yang simbolis dan bisa diartikan ke banyak hal oleh siapa yang pun menikmatinya. Ya, sebuah perkawinan dua seni yang indah, satu setengah jam yang terindah buat saya untuk mengenal siapa Ibu Farida Oetoyo dan juga cintanya kepada Sjuman Djaya.
Dua seniman luar biasa dan pantas diapresiasi oleh pecinta seni di Indonesia, negeri tempat mereka berpulang dan abadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H