( Sebuah Apresiasi Puisi )
Orang Mati
Oleh: Ahda Imran
Aku dibunuh setelah mengatakan “tidak”
Orang sekaumku percaya
kata itu diciptakan iblis di depan lelaki
pesolek kesayangan Bapak. Di tengah
sidang suci lancang ia mengucapkannya
Sejak itu, tuan, kata “tidak” adalah tulah
pengusiran, kematian, dan darah
Sejak hari pertama aku mengucapkannya
langit bergetar, pepohonan mati, udara basi
dan bau kuburan, ular-ular tanah menyelinapkan
bisa ke dalam umbian
Seperti saat pengusiran iblis;
pada hari kematianku, air, tanah, dan langit
begitu lengang. Tuan menyelinap ke dalam
rumahku, ke dalam tubuhku; tuan mencari-cari
kata “tidak”
Tuan mengerat lidahku
kata itu kuteriakkan di sorot mata
tuan mencukil mataku
kata itu kujerang dalam darah
tuan menumpahkan darahku
kata itu kusembunyikan dalam ruh
ketika tuan mengeluarkan ruhku
kata itu telah kutuliskan di seluruh tembok kota
(dimuat di Kompas, Minggu, 25 Oktober 2015)
Puisi di atas adalah cerminan fenomena yang terjadi sejak dulu hingga sekarang dalam peradaban kehidupan manusia. Kata "tidak" diseru oleh perorangan atau kelompok karena ketidaksepahaman terhadap suatu permasalahan. Dan kata "tidak" ini terkadang mempunyai harga yang sangat mahal, bahkan harus ditebus dengan taruhan nyawa! Puisi berjudul "Orang Mati" ini tanpa basa-basi langsung dibuka dengan sebuah kalimat Aku dibunuh setelah mengatakan "tidak".
Menurut Si Penyair, kata "tidak" ... itu diciptakan iblis. Dalam literatur Agama Islam, yakni di kitab suci Al Quran, Iblis adalah sosok pembangkang sejati karena berani melawan perintah Tuhan yang telah menciptakannya. Ihwal pembangkangan bermula saat Tuhan menyuruh Iblis agar bersujud kepada Adam, manusia pertama ciptaan Tuhan yang terbuat dari tanah. Alasannya, Iblis merasa diri lebih mulia karena dibikin dari unsur api. Meski Tuhan telah bertitah bahwa "Aku Maha Tahu", tapi tetap saja Iblis ingkar.
Sang penyair merasakan kekuatan kata "tidak" ketika diucapkan. Energi yang dikeluarkan sungguh luar biasa sehingga mampu membuat langit bergetar, pepohonan mati, udara basi. Dan penyeru kata "tidak" bahkan terkadang berhadapan dengan maut dan dipaksa mencium ... bau kuburan!
Kata "tidak" adalah sebuah penentangan arus. Ketika mayoritas bilang "ya", dan ada sejumput orang atau bahkan cuma seorang yang bilang "tidak", maka sulit rasanya berbicara soal keadilan. Prasangka-prasangka seperti ular-ular tanah menyelinapkan bisa ke dalam umbian. Akal sehat menjadi keruh.
Minoritas harus mempersilahkan Tuan yang menyelinap ke dalam rumahku, ke dalam tubuhku; tuan mencari-cari kata "tidak". Kerja Tuan ini tidak kepalang tanggung! Ia akan mencari kata "tidak" yang telah terucap sampai ketemu. Lihatlah, Tuan ini akan mengerat lidahku.
Dalam ilmu gestur yang mempelajari bahasa tubuh, kata "tidak" ternyata juga terlontar dari sorot mata! Maka saat Penyair bilang kuteriakkan di sorot mata / tuan mencungkil mataku. Si Tuan berambisi ingin mendapatkan kata "tidak" sampai tuntas bahkan ketika kata itu ku jerang dalam darah / tuan menumpahkan darahku, ku sembunyikan dalam ruh / tuan akan mengeluarkan ruhku.
Sungguh luar biasa dahsyatnya pengaruh kata "tidak" bagi si Tuan, karena Tuan menyadari kata ini akan menjadi virus bagi orang yang telah berkata "ya". Bagi si Tuan, tidak ada kata lain selain menemukan penyeru kata "tidak" untuk dibumihanguskan! Si Tuan tidak ingin kata "tidak" menjadi udara busuk bagi dirinya. Si Tuan tidak ingin penyeru kata "tidak" bebas merdeka menyuarakan hati nuraninya. Akhirnya Si Penyair dengan manis menutup epilog yang "happy ending", karena kata itu telah kutuliskan di seluruh tembok kota sehingga semua orang tahu kenapa Aku dibunuh setelah mengatakan "tidak".
Surabaya, Jumat, 30 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!