Mohon tunggu...
Suharto
Suharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Penulis blog http://ayo-menulislah.blogspot.co.id/, http://ayobikinpuisi.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Chairil Anwar Ingin Hidup Seribu Tahun?

9 Agustus 2022   23:10 Diperbarui: 9 Agustus 2022   23:32 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkenalan dengan Puisi Chairil Anwar

Saat belajar di sekolah menengah pertama, aku mengenal puisi-puisi karya Chairil Anwar. Tentu saja yang populer saat itu puisinya yang berjudul Aku. Karena dijadikan salah satu puisi wajib pada lomba pembacaan puisi.

Ketika itu Bapak guru pengajar pelajaran Bahasa Indonesia berbagi pengetahuan kepada anak didiknya, termasuk diriku. Dan aku mulai mengenal beberapa puisi dan sosok pengarangnya, Chairil Anwar. 

Ada rasa penasaran untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diri Chairil Anwar. Dan ruang perpustakaan pun menjadi tempat berburu tulisan tentangnya.

Relevan dari Masa ke Masa

Pada umumnya, orang merasa bahwa puisi-puisi ciptaan Chairil Anwar esensinya melintasi zaman. Ia berhasil menggubah perasaan yang dialaminya dalam diksi yang padat namun tetap memperhatikan estetika berpuisi dan tanpa mengorbankan maknanya.

Ketika membaca puisi-puisinya, kita akan menemukan kepingan-kepingan sikap Chairil Anwar terhadap suatu masalah.  Sedikit demi sedikit kita menemukan jejak dan menelusuri kejadian-kejadian yang dialaminya, baik fisik maupun psikis.

Karya yang Monumental

Sepanjang hidupnya, Chairil Anwar menciptakan puluhan puisi. Pengamat sastra menilai ada beberapa karyanya yang monumental. Dianggap demikian tentu karena puisi-puisi tersebut sangat populer. 

Orang-orang, bahkan generasi setelahnya, suka mengutip bait-bait puisi Chairil Anwar untuk kepentingan masing-masing. Ada yang ditulis di tembok-tembok sebagai grafiti. Ada yang disablon disertai gambar sang penyair di bagian depan kaus. Ada juga yang dipuitisasikan versi mereka. 

Berikut adalah beberapa karya puisi Chairil Anwar yang monumental. Dan saya mencoba mengulasnya. Pemahaman saya tentunya bisa berbeda dengan pembaca. Dan inilah asyiknya menginterpretasikan karya seni, khususnya puisi. Setiap orang punya sudut pandang sendiri yang akan memperkaya literasi.

Aku

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Kita bisa merasakan kuatnya prinsip hidup yang dianut Chairil Anwar. Ia bersikukuh tak mau dirayu oleh siapapun, termasuk oleh seseorang yang menjadikan alasan puisi tersebut diciptakan.

Chairil Anwar tak mau dikasihani. Ia ingin mewujudkan prinsip hidupnya menjadi nyata, apa pun resikonya! Ia bersemangat untuk membangun cita-citanya. Maka wajar jika puisi ini diakhiri dengan pernyataan optimis, Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Doa

(Kepada pemeluk teguh)

Tuhanku

Dalam termenung

Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh

Mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci

Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku

Di pintu-Mu aku mengetuk

Aku tidak pernah berpaling

Puisi di atas menyiratkan kesadaran Chairil Anwar sebagai makhluk ciptaan-Nya. Ia merasa pernah hilang bentuk, bahkan remuk. Pernah mengembara di negeri asing. Dan merasa Cahaya Tuhan tinggal kerlip seperti lilin di dalam hidupnya. 

Namun Chairil Anwar masih menyebut nama Tuhan. Keyakinannya tegas tertulis pada baris penutup puisi, Aku tidak pernah berpaling dari Tuhan.

Derai-derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

Puisi ini menurutku menggambarkan perasaan Chairil Anwar yang merasa sudah cukup matang pengalaman kehidupannya. Ia sadar bukan kanak lagi.

Meski usia dan pengalaman hidup bertambah, ia merasa ada masa lalu yang tidak bisa dilupakan, membebani jalan hidupnya. Ia ingin menyimpan beban itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun