Berkenalan dengan Puisi Chairil Anwar
Saat belajar di sekolah menengah pertama, aku mengenal puisi-puisi karya Chairil Anwar. Tentu saja yang populer saat itu puisinya yang berjudul Aku. Karena dijadikan salah satu puisi wajib pada lomba pembacaan puisi.
Ketika itu Bapak guru pengajar pelajaran Bahasa Indonesia berbagi pengetahuan kepada anak didiknya, termasuk diriku. Dan aku mulai mengenal beberapa puisi dan sosok pengarangnya, Chairil Anwar.Â
Ada rasa penasaran untuk mengetahui lebih lanjut mengenai diri Chairil Anwar. Dan ruang perpustakaan pun menjadi tempat berburu tulisan tentangnya.
Relevan dari Masa ke Masa
Pada umumnya, orang merasa bahwa puisi-puisi ciptaan Chairil Anwar esensinya melintasi zaman. Ia berhasil menggubah perasaan yang dialaminya dalam diksi yang padat namun tetap memperhatikan estetika berpuisi dan tanpa mengorbankan maknanya.
Ketika membaca puisi-puisinya, kita akan menemukan kepingan-kepingan sikap Chairil Anwar terhadap suatu masalah. Â Sedikit demi sedikit kita menemukan jejak dan menelusuri kejadian-kejadian yang dialaminya, baik fisik maupun psikis.
Karya yang Monumental
Sepanjang hidupnya, Chairil Anwar menciptakan puluhan puisi. Pengamat sastra menilai ada beberapa karyanya yang monumental. Dianggap demikian tentu karena puisi-puisi tersebut sangat populer.Â
Orang-orang, bahkan generasi setelahnya, suka mengutip bait-bait puisi Chairil Anwar untuk kepentingan masing-masing. Ada yang ditulis di tembok-tembok sebagai grafiti. Ada yang disablon disertai gambar sang penyair di bagian depan kaus. Ada juga yang dipuitisasikan versi mereka.Â
Berikut adalah beberapa karya puisi Chairil Anwar yang monumental. Dan saya mencoba mengulasnya. Pemahaman saya tentunya bisa berbeda dengan pembaca. Dan inilah asyiknya menginterpretasikan karya seni, khususnya puisi. Setiap orang punya sudut pandang sendiri yang akan memperkaya literasi.
Aku
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Kita bisa merasakan kuatnya prinsip hidup yang dianut Chairil Anwar. Ia bersikukuh tak mau dirayu oleh siapapun, termasuk oleh seseorang yang menjadikan alasan puisi tersebut diciptakan.
Chairil Anwar tak mau dikasihani. Ia ingin mewujudkan prinsip hidupnya menjadi nyata, apa pun resikonya! Ia bersemangat untuk membangun cita-citanya. Maka wajar jika puisi ini diakhiri dengan pernyataan optimis, Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Doa
(Kepada pemeluk teguh)
Tuhanku
Dalam termenung
Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak pernah berpaling
Puisi di atas menyiratkan kesadaran Chairil Anwar sebagai makhluk ciptaan-Nya. Ia merasa pernah hilang bentuk, bahkan remuk. Pernah mengembara di negeri asing. Dan merasa Cahaya Tuhan tinggal kerlip seperti lilin di dalam hidupnya.Â
Namun Chairil Anwar masih menyebut nama Tuhan. Keyakinannya tegas tertulis pada baris penutup puisi, Aku tidak pernah berpaling dari Tuhan.
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
Puisi ini menurutku menggambarkan perasaan Chairil Anwar yang merasa sudah cukup matang pengalaman kehidupannya. Ia sadar bukan kanak lagi.
Meski usia dan pengalaman hidup bertambah, ia merasa ada masa lalu yang tidak bisa dilupakan, membebani jalan hidupnya. Ia ingin menyimpan beban itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H