Mengunjungimu di perenungan. Ada kedamaian kau suguhkan dalam gelas-gelas indah berkilau. Saat itu gerimis kebahagiaan menetes di teras rumahmu.Â
Aku bisa melihat bukit harapan di kejauhan. Indah memayungi segala rindu dari terik matahari.Â
Aku ingin belajar darimu. Tentang kepasrahan orang-orang di tempatmu. Kata mereka yang hidup di kebisingan, orang-orang itu bodoh. Kau hanya bilang, terserah. Orang-orang yang kau anggap bodoh itu bisa bahagia.
Bodoh atau tidak, itu hanya soal kemauan. Kau hanya perlu mencoba, karena ada kemungkinan berhasil. Jika kau tidak mencoba, sudah tentu kau tidak punya pilihan berhasil.Â
Memaklumi pribadimu dan orang-orang di sekitarmu adalah hal susah pada mulanya. Namun kemudian aku mengerti. Dengan catatan, kau tak boleh sombong, katamu. Karena monyet pun bisa jatuh dari pohon, alasanmu.
Dan sebagai perkenalan, aku diberi serumpun senyuman oleh tetanggamu. Ambillah hadiah jangan menolaknya, katamu. Apalagi jika hadiah itu tidak merugikanmu.
Kami di sini biasa mengambil pemberian dari alam. Seperlunya saja. Kata orangtuaku, saat kau berhenti berhikmat. Itu artinya kau dekat dengan keserakahan. Jangan pelihara sifat itu. Nanti Tuhan tidak suka. Kalau Ia tak suka, kau bisa dapat masalah.
Orang di sini belajar berpikir dulu sebelum berucap. Karena ucapan tak bisa kau tarik kembali. Akhirnya menyesal di kemudian hari. Kau bisa meminta maaf dan dimaafkan. Tapi orang sulit melupakannya.
Etos kerja orang sini sama seperti di tempat lain. Mereka hanya ingin bangkit setiap kali usahanya gagal. Mereka sigap meski harus memulai dari nol. Tak ada keluh kesah.
Orang di kebisingan bilang, temukan apa yang kau suka. Kau akan bekerja dengan gembira. Namun orang di sini selalu bekerja dengan riang. Mereka mudah bersyukur. Mungkin itu yang membuat tempat kami makmur.Â