Kota itu dipenuhi tembok rumah-rumah tua yang berbalut lumut di sana-sini. Meski tanpa grafiti namun di situ generasi tua menautkan dirinya pada masa lalu.Â
Jalan-jalan yang menua menyimpan kenangan berbagai maksud hati para pejalan. Hilir mudik menyusuri jalan kehidupan. Pada tembok pembatas jalan, ada sebaris kalimat berbunyi: "Ada lelah tapi jangan ada putus asa. Ada banyak jalan tapi hanya ada satu tujuan".
Temaram lampu tua di alun-alun kota mencoba menerangi jalan dan juga hati setiap pejalan kaki yang sedang gundah. Ia seperti ingin mengatakan, sinarilah dunia di sekitarmu meski hanya dengan setitik cahaya.
Di atas kota ada langit tua yang setia menaungi. Dan Tuhan Yang Maha Penyayang menghiasinya dengan awan untuk membagikan hujan jika melihat keresahan musim kemarau.Â
Jika langit berubah gelap, bintang gemintang jadi saksi bisu kehidupan malam warga kota. Hei, kau yang termangu. Singkirkan keluh kesahmu. Pandangi kelap-kelipku, ada sejuta harapan di situ.
Di pojok kota ada kafe tua yang mengumpulkan beragam pikiran dan isi kantong pengunjungnya. Aroma kopi itu masih seperti dulu. Cuma harganya kian hari kian memudarkan selera.
Rindang pohon tua di depan kafe jadi alasan orang-orang berteduh di bawahnya. Juga bagi burung-burung yang melepas lelah sembari saling bertukar kabar dengan kicauan.Â
Bangku tua di taman kota masih kokoh untuk diduduki. Entah berapa ribu pasang orang yang memadu kasih mengikat janji di situ. Mereka tentu tak ingin melupakannya begitu saja.
Di ujung kota ada dermaga tua yang setiap malam di musim dingin selalu mendekap puluhan perahu yang berlabuh. Jika musim berganti, bau amis ikan bercampur kegembiraan para nelayan tumpah ruah di dermaga itu.
Surabaya, Sabtu 3 Juli 2021