Dinding rumah kami disaput warna coklat dan merah bata. Akan jadi keemasan jika ditimpa sinar matahari pagi atau sore. Semua orang yang melihatnya pasti ingin berlama-lama memandanginya.
Bukit kecil itu setia menemani rumah kami. Menjadi penopang agar rumah kokoh berdiri. Mereka -- bukit kecil dan rumah kami -- seperti sepasang kekasih yang saling berbagi kasih.
Embun-embun pagi menghibur kami dengan kilauannya. Seperti permata yang dipersembahkan untuk kami. Ingin rasanya mengabadikan dirinya yang rapuh itu.
Jalan setapak di depan rumah ada sejak kami tinggal dulu. Bekas jejak jalan kami puluhan tahun lalu ada di situ. Setia menyimpan masa lalu. Setia mengantar pergi dan menunggu pulang kami.
Dari jendela aku lihat awan-awan yang berarak itu bentuknya selalu berubah. Namun mereka selalu berhasil membuatku takjub. Karena ada beragam bentuk mengikuti imajinasiku.
Jauh di belakang gumpalan awan ada langit biru. Tak bosan aku memandanginya. Ada keteduhan di sana. Saat hatimu gundah, cobalah tengadah. Sampaikan keluh kesahmu. Langit biru akan menyampaikan pada Tuhan.
Di rerimbunan daun sebatang pohon di depan rumah, burung-burung tiada henti bernyanyi. Seperti tak jemu menghias hari dengan nyanyiannya. Kenapa kau hendak menangkapnya? Biarkan mereka turut menikmati alam bersama kita.
Jika sore menjelang, ada keheningan yang indah. Menuntunku menjelajahi kenangan yang telah kami buat. Selembar demi selembar rasa bahagia kami susun menjadi permadani indah yang menghiasi rumah.
Bila kemarau tiba, dedaunan satu persatu berjatuhan. Merebahkan diri pada pangkuan bumi. Melambaikan tangan pamit pergi. Menuju rumahnya yang abadi.
Di hadapan kami, ada dua cangkir kopi menemani. Seteguk kebahagiaan meluncur menyusuri kerongkongan. Lembut membasahi jiwa. Membuatku mencari 1001 alasan mensyukuri karuniaNya.