[caption caption="Satu hari setelah keluar ICU (Doc: HUM)"][/caption]
Kemarin pagi saat mengantar si Kecil buat ikut lomba porseni, di jalan kita sambil mendengarkan radio. Baru tahu kalau tanggal 24 Oktober adalah hari Dokter Indonesia dari sang penyiar. Jadi ingat juga pengen nulis beberapa pengalaman urusan sama dokter dan rumah sakit. Pengalaman bagus atau jelek kira-kira ya? Karena sudah terlalu mainstream kalau kita ngomongin hal jelek di media, saya pilih cerita yang baik saja deh.. :)
Ok deh, saya mulai ceritanya ya? Seperti intro kisah-kisah inspiratif yang sering dapat dari broadcast message, saya juga kasih catatan bahwa ini adalah KISAH NYATA!! tentu dengan sedikit bumbu biar renyah dan gurih dibacanya. *senyum
Pengalaman awal urusan dokter dan rumah sakit saya alami saat masa kecil dulu. Puskesmas adalah rujukan pertama saat batuk pilek khas anak kecil. Satu hal yang membuat saya senang kalau diajak ke Puskesmas adalah karena ada penjual mainan dan kue yang digendong simbok-simbok penjual, pulang langsung main..sembuh deh.
Baru kalau agak lama nggak sembuh juga biasanya Ibu akan bawa ke dokter anak kota. Yup.. Dokter anak-anak di kota yang membuat saya kecil saat itu mengenal istilah MAMA untuk memanggil ke Ibu dan itu yang saya kecil selalu terapkan saat kunjungan ke dokter kota. Biar tidak kalah gaul sama anak yang lain. Geli juga kalau mengingatnya :D
Lompat ke masa sekarang. Punya tiga krucil tentunya sudah banyak pengalaman ketemu dokter dan berkunjung ke rumah sakit, tentunya bukan urusan sakit saja. Kami, saya dan istri punya pandangan yang sama bahwa pergi ke dokter atau rumah sakit bukan hanya untuk mencapai tujuan segera sembuh tapi juga sebagai ajang kita berdiskusi dengan dokter untuk menambah pemahaman tentang kesehatan anak dan keluarga. Cukup banyak RS dengan dokter spesialis handal di dekat rumah yang sudah pernah kita datangi sebagai bahan komparasi dalam hal pelayanan dan juga kompetensi sang dokter. Dari berbagai macam pertimbangan akhirnya kita ketemu dengan dokter dan RS yang sreg di hati. Ya..bukan yang paling dekat rumah atau yang paling megah gedungnya, tapi yang menurut kita bekerja dengan HATI .
Sebagai seorang ayah dari tiga krucil, pengalaman sebagai suami siaga tentunya sudah di luar kepala. Dokter kandungan selama masa kehamilan ketiganya kami percayakan pada satu orang dokter, meski tidak saat melahirkan. Lho kok? Kenapa bisa?
Dokter kandungan kami ini sudah cukup senior. Meski di usia yang sudah tidak lagi muda, semangat dan stamina ibu dokter ini nomor satu. Pasien yang banyak tidak membuat beliau asal cek pasien biar cepat selesai. Diskusi enak tentang kondisi pasien diselingi obrolan ringan tentang berbagai hal yang bahkan tidak berhubungan dengan medis membuat prosesi berjalan santai dan close to personal.
Sampai dengan jam berapa maksimal Anda berkunjung ke dokter kandungan untuk cek berkala kondisi janin? Jam 9 malam? Atau 10 malam? Itu masih sore menurut dokter kandungan kami. Sebagai pasien terakhir pulang bareng jam 1:30 dini hari adalah rekor kami, bahkan ada pasangan temen kita yang cerita pernah rela menunggu sampai jam tiga pagi. Lanjut makan sahur deh..
Sayangnya pada lahiran anak pertama kami tanpa pertolongan sang dokter, soalnya terlanjur lahir di mobil pas jalan ke RS..upss.. Bisa dibayangkan paniknya seorang calon ayah di mobil melihat sang istri melahirkan, ditambah lagi didampingi ibu mertua, sungguh terintimidasi. Tapi ternyata tidak sepanik yang pemirsa bayangkan, karena saya masih sempat mandi saat istri pecah ketuban dan cukup tenang ketika harus belok ke RS terdekat nyelonong ke IGD dengan membawa seorang ibu hamil, yang sudah kempes, dan bayi mungil dengan ari-ari masih melilit yang membuat suster IGD langsung panik seketika.
Anak kedua meski tidak seheboh kakaknya saat lahiran, ternyata lewat juga dari penanganan dokter tadi. Ceritanya saat kunjungan rutin 2 minggu sebelum HPL sang dokter bilang bahwa minggu depan dia ada acara reuni di luar kota sehingga mau cuti, tapi kita tetap bisa cek kondisi janin karena ada dokter pengganti dan tidak perlu khawatir karena HPL masih 2 minggu lagi. Tapi takdir berkata lain, sang jabang bayi memaksa menghirup udara luar saat sang dokter cuti.