Mohon tunggu...
Witono Hardi
Witono Hardi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pendidik dan pengajar yang ingin mendarma-bhaktikan hidupnya untuk agama Islam dan NKRI tercinta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Pendidikan Dasar "Tradisional" ala Jepang

30 November 2013   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:30 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13857827081535038658

Anak SD di Jepang sedang mancing JARIGANI (Udang) di sebuah taman di kota Toyohashi Setiap kali saya menulis tentang sistem pendidikan Jepang, sebenarnya saya sedang menulis tentang sesuatu yg berhubungan dengan sistem tradisional. Seperti kembali ke masa Indonesia tahun 50-60an. Dengan sistem itulah pendidikan dasar Jepang dibentuk. Setiap kali saya hadir di kelas anak saya, pada saat waktu kunjungan ke sekolah, seolah apa yang diceritakan almarhum bapak saya dulu muncul di depan mata Jepang tidak gegabah memasukkan modernisasi secara ugal ugalan pada pendidikannya. Kemajuan sebuah SD di Jepang tidak dilakaukan dengan menampilkan kemodernan,, seperti internet, wifi, gadget atau apapun yang seringkali dianggap sebagai simbul kemajuan. Siswa Jepang diharuskan jalan kaki ke sekolah, nggak peduli dari, strata sosial apapun. Mobil mewah orang tuanya ditinggal di rumah. Kemudian mereka dilarang membawa gadget ke sekolah. Membicarakan harta adalah sesuatu yang memalukan bagi siswa jepang. Pembentukan moral merupakan sesuatu yang utama dan sangat ditekankan di Jepang. Tidak ada SD pavorit di Jepang. Karena lokasi siswa sekolah ditentukan oleh dinas pendidikan berdasarkan alamatnya. Jadi nggak ada kemacetan akibat orang tua yang antar anak, rumah di timur sekolah di barat,, rumah di utara sekolah di selatan dan akhirnya ketemu di tengah tengah. Pendidikan dasar di Jepang tidak membebani siswa dengan sekian banyak pelajaran dan hapalan. Yang membuat otak muda itu kelelahan. Tapi materinya sedikit saja. PR nya yang banyak, selain diajak kembali ke alam dalam belajar. Otak yang cuma sekepal ini sedang dipersiapkan nanti untuk SMA dan perguruan tinggi. Itulah masanya otak dipress belajar. Sebetulnya kita pun bisa Kita sebetulnya bisa. Sangat bisa untuk meniru pendidikan dasar jepang. Sebab pendidikan dasar bukan dibangun berdasarkan kemajuan iptek yang canggih. Tetapi justru dibangun di atas nilai nilai moral.  Bahkan nilai nilai kita jauh lebih luhur. Karena kita berdasarkan nilai agama. Sedangkan jepang sehebat apapun, tidak memasukkan agama dalam sistem pendidikannya. Jadi mereka bermoral baik bukan untuk siapa siapa. Tapi ya sekedar untuk hidup di dunia ini. Satu hal yang ternyata gampang gampang susah adalah, jika yang menyangkut dengan materi (gedung sekolah bagus, sarana, komputer, dsb) itu walaupun mahal, tapi seolah olah mudah didapat. Karena hanya menyangkut fisik. Sedangkan hal yang menyangkut mental, walaupun kelihatan mudah, tapi tidak mudah juga untuk dirubah. Akankah kita bisa membangun mental sebagaimana bangsa Jepang? Contoh yang paling sederhana adalah masalah sekolah pavorit. Siapkah kita menyekolahkan anak di dekat lokasi kita? Dan siapkah sekolah yang bersangkutan untuk mendidik putra-putrii kita. Seringkali orang tua mesti mencari sekolah di blok lain yang tentu saja menghabiskan waktu dan biaya. Pembiaran kita sebagai ortu maupun pihak terkait dalam hal membawa sepeda motor ke sekolah dengan berbagai alasan, sambil membiarkan anak kita tanpa SIM ke sekolah, adalah pelajaran pelanggaran hukum yang kita lakukan secara masif dan istiqomah. Gak bisa bayangkan jika anak kita bersekolah sambil melanggar hukum dan kita biarkan. Selain itu adalah para pengambil kebijakan. Siapkah untuk membuat kebijakan yang tidak setiap tahun berubah seperti sekarang ini? Jangan bicara tentang anggaran pendidikan. Anggaran pendidikan kita yang 20% APBN ini sudah sangat cukup untuk membiayai pendidikan. Bukan malah memperbesar pungutan di mana mana yang sering menghiasi media massa. Terakhir, pendidikan dasar dimulai dari keluarga. Jika mulai sekarang kita sudah berpikir untuk lebih baik, tidak mengandalkan materi dan hedonisme, dan simulai dari keluarga per keluarga maka mudah mudahan di masa depan kita akan jauh....jauh lebih baik. Pemikiran salah yang harus dihindari Seringkali kita terbelenggu dengan pemikiran salah seperti berikut: 1. Anakku saya les kan dimana mana biar puintar....... ->Percuma, hebat di masa anak anak tidak menjamin sukses masa depannya. Biasa biasa saja. Ajari tentang hidup dan kehidupan 2. Jepang adalah teknologi canggih, kita tradisional -> Pendidikan dasar Jepang malah tradisional. Atau silakan cari dari internet, siapa tahu saya salah 3. Secanggih dan sehebat apapun Jepang, kan mereka atheis, kita beragama ->sekarang ini, hari ini, kita masih hidup di dunia. Selama kita hidup di dunia tentu harus mengambil sikap yang terbaik. Agama adalah untuk diamalkan, bukan untuk sombong sombongan dan gaya2an. Emang ada jaminan surga kalau hidupnya seenak sendiri 4. Kita sudah telanjur seperti ini -> Tak ada kata telanjur, semua bisa berubah, asal mau 5. Semua tergantung uang, makin mahal makin baik -> Semua tergantung Allah, dialah penguasa seluruh alam. Dialah pemilik timur dan barat. Dialah yang dengan rahman dan rahimNya mengatur alam. Rahman Nya untuk alam semesta. Karena Rahman Nya inilah semut saling berkasih sayang. Seorang ibu menyusui bayinya. Seekor macan memelihara anaknya. Dan semua orang nggak peduli beriman atau tidak, hidup teratur di dunia. Sedangkan RahimNya adalah iman dan islam. Bagaikan kendaraan mewah, siap mengantarkan kita kemana kita melangkah, asal kita bisa memakainya. Tanpa pengetahuan dan pengamalan yang cukup makan agama ini hanyalah simbul yang tidak bisa memberi manfaat apa apa Jangan bangga dengan kehebatan masa kanak kanak Banggalah jika hebat di masa dewasa dan memperbaiki nasib bangsa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun