Menu perjalanan hari ini adalah menikmati apa yang disediakan oleh kota Ho Chi Minh, yang dijuluki sebagai Paris Asia Tenggara. Julukan itu tidak berlebihan sebab di kota ini memang banyak peninggalan Perancis, seperti: Saigon Central Post Office, Saigon Opera House, atau Notre Dame Cathedral. Walau banyak bangunan berarsitektur Perancis, secara keseluruhan Ho Chi Minh sama sekali tidak mirip dengan Paris. Pembangunan kota yang dahulu bernama Saigon ini tampaknya lebih diarahkan untuk menjadi kota metropolitan, seperti New York, Tokyo atau Jakarta.Â
Beberapa gedung pencakar langit telah hadir di kota ini, dan diantaranya yang paling top adalah Bitexco Financial Tower. Sementara beberapa gedung tampak sedang dalam tahap pembangunan. Mereka pun mulai mempercantik kotanya dengan membuat taman-taman kota yang indah. Jalan-jalan juga tampak sedang diperluas untuk menampung kendaraan yang semakin banyak. Sebagai catatan, di kota ini perilaku pengemudi motornya tidak kalah dengan Jakarta, termasuk urusan memanjat trotoar di jam sibuk nan macet.
Setelah cukup lama di sini, kami pun melanjutkan perjalanan ke beberapa tempat yang letaknya tidak jauh, seperti: Â Saigon Central Post Office, Notre Dame Cathedral, dan Saigon Opera House. Di ketiga bangunan tersebut, memang terasa sekali 'selera' Perancis-nya. Ketika berjalan kaki di kota ini, kita memang perlu kehati-hatian terutama saat menyebrang.Â
Syukurlah, kami orang Jakarta yang sudah terlatih untuk urusan seperti ini. Saat berjalan menuju Bach Dang Harbor Garden untuk menikmati tepian suasana Sungai Saigon, pandangan kami tertuju pada menara yang rasanya sangat kami kenal. Setelah berjalan lebih dekat, ternyata tower sebuah masjid yang bernama Musulman Mosque. Masjid ini cukup besar dan cukup banyak aktivitas, sekalipun bukan waktu sholat. Adanya masjid, gereja, vihara, kuil, dan lain sebagainya, setidaknya merupakan cermin bahwa pemerintah komunis Vietnam tidak anti agama, dan menghargai keyakinan yang dianut penduduknya.
Pemilik restoran yang kami singgahi ternyata berasal dari Malaysia. Jadi bahasa tidak menjadi penghalang kami berkomunikasi, sebab kami bisa menggunakan Bahasa Indonesia atau Melayu. Rupanya banyak juga orang Malaysia yang merantau ke sana dan membuka restoran halal. Pengunjung restoran juga cukup banyak, terutama wisatawan muslim, khususnya yang berasal dari Malaysia. Kari dan mie yang kami pesan, rasanya sesuai dengan lidah, dan harganya tidak mahal.
Sekalipun demikian, untuk ukuran pedagang mereka belum luwes. Mungkin karena ajaran disiplin kuat yang diterapkan negara-negara komunis, membuat mereka sulit untuk bersikap luwes. Tapi kalau dipikir-pikir bukankah di Indonesia juga banyak pedagang yang galak? Mungkin bawaan mereka memang seperti itu, walau sebenarnya mereka mempunyai hati yang baik.
Manusia dalam satu negara, ras, suku, bahkan keluarga, sangat mungkin mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Di hotel, kami dilayani dengan sepenuh hati, dan pegawai hotel selalu siap membantu kami. Ketika kami berkunjung ke Universitas Ton Duc Thang, kami disambut dan dilayani penuh keramahan dan persahabatan. Supir taksi online yang membawa kami ke bandara juga sangat lugu, dan tersenyum lebar sambil mengucapkan terimakasih beberapa kali ketika kami selipkan tips untuknya.Â
Tapi, kami pun sempat dibawa berputar-putar oleh taksi, sehingga harus membayar mahal, dan sempat 'digalakin' oleh ibu-ibu pedagang suvenir. Perilaku satu-dua orang tidak bisa digeneralisasi menjadi perilaku suatu kelompok, apalagi perilaku masyarakat dalam suatu negara. Di negara atau kota manapun saat traveling, kita hanya perlu berhati-hati menghindari orang-orang yang berperilaku buruk, dan kita pasti akan menemukan orang-orang baik yang jumlahnya jauh lebih banyak.