Perlahan kereta bergerak membawa kami ke Grindelwald. Rasa dingin tak lagi mendominasi tubuh, sebab kehangatan telah mendekap kami.Â
Perjalanan ke kota kecil di bagian pegunungan Alpen ini juga sarat dengan kerupawanan alam. Kembali terasa bahwa kata-kata ini tidak akan cukup untuk melukiskan sungai-sungai jernih yang mengalir di balik ranting-ranting pohon, rumah-rumah penduduk yang berdiri di hamparan hijau di kaki gunung, serta liukan jalan mobil yang berkejar-kejaran dengan rel kereta.Â
Bagi sebagian wisatawan, sesampai di Grindelwald akan menuju Grindelwald First untuk menikmati landscape alam dari ketinggian. Tetapi, menikmati keasrian dari dekat stasiun, ditemani secangkir kopi hangat, juga telah lebih dari cukup.Â
Entah sudah berapa puisi yang telah tercipta oleh gunung biru yang bergurat putihnya salju ini, dan entah telah berapa pula cerita yang tertulis oleh liukan sungai di antara hamparan hijau yang luas.
Di sana kami tidak hanya disajikan atraksi oleh gunung yang puncaknya ditutupi salju, tetapi juga atraksi danau yang menari indah di kakinya. Danau tampak begitu tenang, seakan menunjukkan kematangan pengalamannya menghadapi segala kejadian di bumi.Â
Dengan warna biru kehijauan, dia menebarkan rasa damai dan tenteram dalam jiwa, yang dengan begitu ramah memeluk unggas yang bermain-main dan berenang di tubuhnya. Di sini pun kita hanya perlu segelas teh hangat, lalu duduk di kursi yang tersedia di tepi danau sambil menyaksikan alam mempersembahkan atraksinya pada kita.
Betapa bersahabatnya alam dengan kita. Saat kita menyapa, dia akan langsung merangkulmu. Menceritakan dirinya dengan jujur tanpa rahasia. Nasehatnya akan mengobati luka, petuahnya akan mengisi kehampaan, pengalamannya akan memperkaya pengetahuan, dan kebijakannya akan memberi pencerahan.
Mungkin banyak di antara kita yang hanya memahami sebuah perjalanan, dengan berbagai penamaan seperti wisata, kunjungan, atau traveling, sebagai sebuah kegiatan untuk melihat-lihat alam, landmark, dan tempat bersejarah, atau cara bersenang-senang penuh tawa canda sambil berfoto-foto.Â
Bahkan perjalanan juga dijadikan sarana sekadar meningkatkan status, dengan menghambur-hamburkan uang. Akibatnya banyak orang yang memandang miring kegiatan wisata. Padahal, secara sadar dan tidak sadar, ke manapun kaki wisatawan melangkah, sesungguhnya mereka sedang belajar.Â
Pengalaman adalah guru terbaik, dan berwisata adalah pengalaman. Masalahnya, seberapa banyak kita mampu menyerap pelajaran yang didapat saat berwisata, dan kemudian mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari?
Lebih jauh, wisata sesungguhnya adalah pencarian makna dan nilai-nilai. Ketika kita berkunjung ke Colleseum di Roma, sesungguhnya kita bukan sekadar menikmati bangunan kuno peninggalan kerajaan romawi, melainkan bangunan tempat di mana manusia diperlakukan layaknya binatang oleh manusia yang berkuasa.Â