Samba terbangun, tergagap dari tidur nyenyaknya. Dia terbangun karena dalam mimpi mendapat bisikan bahwa dia adalah titisan Hyang Drema. Dalam mimpi itu dia disuruh mencari istrinya Hyang Drema, yaitu Hyang Dremi. Seumur-umur belum pernah aku mimpi yang aneh seperti ini, pikirnya. Tergambar kembali wajah Hyang Drema bersinar, kepalanya memakai mahkota, persis tokoh pewayangan yang ada di rumah eyang di ndalem Baluwarti, Solo. Walaupun tidak belajar psikologi, tapi aku rasa mungkin mimpiku secara psikologis adalah cerminan tekanan keluarga besarku yang terus menerus mendesakku untuk mencari pasangan hidup, pikir samba menenangkan diri.
[caption id="attachment_71988" align="aligncenter" width="300" caption="www.ki-demang.com"][/caption]
Samba adalah seorang dokter gigi biasa, kehidupannya mengalir bagai air. Dia dibesarkan dalam keluarga besar, karena ayahnya, pak Kresna mempunyai beberapa istri. Untungnya dari semua istri pak Kresna tidak ada yang saling iri. Walaupun rumah masing-masing istri berjauhan, mereka rutin bersilaturahmi. Seperti acara Sabtu malam besok, acara pertemuan keluarga itu ditujukan untuk menghormati saudara tirinya, Boma, yang akan memperkenalkan pilihan hatinya. Samba sebenarnya malas sekali menghadiri acara itu karena pasti ujung-ujungnya dia lagi-lagi ditanya siapa pacarnya, kapan menikah. Kalau dijawab “may, may be yes may be no”, sudah usang, mereka sudah tahu. Semuanya terbayang. Tetapi ia tidak ingin membuat mama Wati, ibunya, merasa tidak enak dengan mama Pratiwi ibunya Boma.
Acara belum dibuka tetapi serangan sudah dimulai. Tante Rukmini istri pak Kresna yang lain, yang biasanya pendiam mendekati Samba dan bertanya,
“Mana pacarmu? Kenalin sama mama dong…”
“Nanti saja, ma “ jawab Samba ogah-ogahan.
“Kamu sama Boma sepantaran khan? sudah cepet susul Boma, apalagi yang ditunggu, rumah, mobil, sudah ada! Kerja sudah mapan, tinggal permaisurinya saja yang belum” cecar mama Rukmini.
”Mama Mini tenang saja, tinggal nunggu harinya kok ”, sela Samba
“Oh, jadi sudah ada calonnya to ternyata?”
“Belum…., nunggu harinya ketemu dengan calon pendamping …”, seloroh Samba.
“Hussss kamu itu, orang tua kok dipakai dolanan”. Percakapan terhenti karena pak Krisna memberitahukan kalau Dewi Hanawati calon Boma sudah datang diantar kedua orangtuanya.
Samba menoleh ke arah pintu masuk, terlihat seorang wanita anggun memasuki ruangan. Samba terpana, tidak berkedip. Seperti ada sesuatu di diri Dewi yang terasa sangat akrab dihatinya…. “Ahh .. !!! Apakah ini cinta pandangan pertama?” pikirnya. “Wah aku kalah set dengan Boma, dimana ya dia bertemu … coba kalau aku duluan, pasti yang dapat aku!”, pikirnya cepat.
Ketika acara perkenalan, ia memperkenalkan dirinya sambil menggenggam tangan Dewi dengan erat. “Aku Samba, saudara tiri Boma, omong-omong punya saudari kembar enggak?” Dewi menjawab hanya dengan senyum simpul. Samba tambah geregetan dan enggan melepaskan tangannya.
“Hai, salamannya sudah dong! ini calon istriku”, canda Boma yang tiba-tiba sudah berada dibelakang Samba.
“Ini Samba, dokter gigi, kalau gigimu kurang mancung bisa ke tempat prakteknya, tapi telpon dulu karena lumayan laris … ”, kata Boma pada Dewi sambil menggamit tangannya, mengajak ke ruang makan.
Samba yang tadinya lesu berubah 180 derajad menjadi riang dengan sesekali mencuri-curi pandang ke arah Dewi calon istrinya Boma. Mungkin karena merasa ada yang memperhatikan, maka Dewipun sesekali memandang Samba, pandangan mereka bertemu. Samba salah tingkah dan memalingkan muka. Hatinya tidak karuan. Acara ternyata dilanjutkan dengan tukar cincin, pertunangan sederhana, semua bertepuk tangan ketika Boma mencium pipi Dewi setelah selesai menyematkan cincin di jari manisnya, hanya Samba yang terdiam dan keluar pura-pura mencari sesuatu.
Malamnya Samba tidak bisa tidur. Terbayang wajah tunangan Boma … bola matanya coklat, alis matanya tebal, hidung bentuk mancung tetapi mungil menggemaskan, bibirnya tipis, lesung pipit yang menambah manis senyumannya, giginya … gigi taringnya labioversi, gingsul, tetapi semakin menambah manis senyumnya. Rambutnya, … tingginya ... semua tergambar jelas. Ah kenapa bukan aku dahulu yang bertemu dengannya? Sesalnya berulang-ulang hingga ia tertidur.
Jumat malam, Samba menyeka keningnya. Walaupun ruang prakteknya ber-AC, ia tetap berpeluh. Ia baru saja selesai mencabut gigi geraham belakang bawah yang impacted, lumayan susah … tapi untungnya semua berjalan lancar. Yah beginilah susahnya mencari uang dimulut orang, kelakarnya sendiri di dalam hati.
“Dit, pasiennya tinggal berapa?”
“Satu dok ...”, jawabDita si perawat gigi
“Tolong panggil pasiennya, dan tolong bilang pak Wawan agar pendaftarannya stop dulu, sesorean exo terus kasusnya, cuapek aku”
“Baik dok” jawab Dita sambil tersenyum dan keluar ruangan … ”
“Nona Dewi silahkan masuk ...”, panggil Dita kemudian. Samba tidak mengira pasien yang dipanggil nona Dewi adalah Dewi yang selama ini ia lamunkan. Ketika Dewi masuk ke ruangan, ia sedang mencuci tangan membelakanginya. Dan ketika membalik ...
“Ha .. hhai ..!”, sapanya terperanjat.
“Hai juga ..”, jawab Dewi dengan senyum. “Ah senyum itu lagi ...”, pikir Samba.
“Ada angin apa ini kok sampai ke sini ? mana Boma?”
“Boma sebentar lagi nyusul, katanya aku disuruh duluan, ketemuan disini. Tempat praktekmu kan ditengah-tengah kantorku dan kantornya Boma “
“Oo jadi dijadikan tempat kencan ni ceritanya?”
“Ya sekalian … hahaha … aku mau mbersihin karang gigi nih, nggak pa pa kan? tapi aku bayar lho, kantorku meng-cover kok”
“Gampanglah itu, bila perlu kita bikin dua kali lipat ya ...?”, seloroh Samba tanpa canggung lagi setelah mengetahui Dewi enak diajak ngobrol. Dewi kemudian duduk di kursi gigi. Dita, si perawat menyetel kursi dan menyiapkan segala keperluan pemeriksaan. Sementara Samba memakai handskun, masker dan kacamata. Setelah semua siap. “Sorry Wi, tolong buka mulutnya agak lebar…”, pinta Samba yang kemudian dengan cekatan menggerakkan mirror, excavator dan sonde bergantian di mulut Dewi.
“Enggak ada calculusnya, cuma stain, itupun hanya di gigi bagian depan”, kata Samba masih dalam posisi memeriksa, tetapi matanya melirik ke mata Dewi, ternyata Dewi juga baru melihatnya. Sebenarnya hal ini biasa jika berbicara dengan pasien, wajah begitu dekat dan mata bertatapan, tetapi ini lain … seperti ada degupan kencang dalam hati. Ia kemudian meletakkan alat-alatnya.
“Suka minum teh ya Wi, atau merokok?”
“Aku nggak merokok, kalau teh sih sering, emang ngaruh ya Sam?”
“Kalau frekuensi dan durasinya tinggi ya ngaruh, warnanya nempel di gigi. Enggak usah di-scalling ya? di TSR, trus di-pumish aja sudah cukup.”
“Istilah apa itu Sam, tapi terserahlah pokok bersih. Jadi ntar pas nikah kalau senyum, ‘thingg’!”, jawab dewi sambil mengerjapkan satu matanya.
Samba tertawa, tetapi seperti ada yang perih dihatinya mendengar kata nikah keluar dari mulut Dewi.
“Kapan rencananya?”
“Masih setahun lagi kok.., ”
“Sudah siap dok ..”,sela Dita yang telah menyiapkan segala alat dan bahan.
“Sorry ngobrolnya berhenti dulu ya, kita mulai perawatannya“
“Oke…”,kata Dewi yang kemudian membuka mulutnya lagi.
Sambil membersihkan gigi Dewi, mata Samba sesekali menjelajah wajah Dewi … “halusnyaaaa, ada kumis tipis dan lembut diatas bibirnya …”, batin Samba. Kemudian, seperti ada kekuatan yang mendorong untuk menatap mata Dewi, kembali mereka beradu pandang, dan kembali ruas-ruas di seluruh tubuhnya seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Tidak berapa lama, Dewi kumur yang terakhir kali, Dita menyerahkan tisu untuk mengelap mulutnya dan kaca kecil.
Setelah mengaca, melihat giginya, Dewi berujar: “Sudah bersih dan terasa segar”.
“Siplah kalau begitu. Omong-omong Boma kok belum datang Wi?”
“Iya ni, janjinya sih jam tujuh, sekarang udah lewat sejam! coba aku telponnya, sorry bentar ya?”, jawab dewi sambil keluar ruangan.
Tidak beberapa lama ia masuk lagi, “Boma ada rapat mendadak, katanya kalau mau ditunggu sekitar satu dua jam lagi sampai, kalau takut kemalaman ya minta tolong kamu ngantar, gitu katanya…”
“Oke, trus gimana ni, mau nunggu atau kuantar pulang?”
“ Tunggu sajalah, satu dua jam ini, tapi kamu ntar kalau ada pasien gimana ... aku nunggu di ruang tunggusaja, nonton TV”
“Kebetulan kamu pasien terakhir, tadi bagian pendaftaran aku suruh tutup, capek. Hari ini pasiennya cabut semua kasusnya” samba kemudian menoleh ke arah Dita yang telah selesai membersihkan alat-alat dan memasukkan kembali bahan- bahan yang tadi digunakan.
“Dit kalau kamu sudah selesai boleh pulang, pak Wawan juga kalau sudah selesai urusan administrasinya.”
“Baik dok, duluan ya dok, mari bu Dewi” pamit Dita sambil keluar ruangan.
Suasana hening, dua pegawai Samba sudah pada pulang, tinggal Dewi dan Samba duduk di ruang tunggu ukuran 4 X 4. Obrolan ringan telah mereka bicarakan kurun waktu satu setengah jam tetapi Boma belum juga hadir. Tiba-tiba keheningan terpecah oleh suara tanya Dewi, “Pacarmu siapa Sam?”
Samba yang tidak siap dengan pertanyaan itu menjawab gelagapan, ”Belum punya Wi, kenapa ?!”
“Pingin tau aja, tapi masa si belum punya? apa karena banyak kriteria, karena cowok macam kamu, engga ada cewek yang nggak mau!”
“Enggak juga, cuma belum ada yang sreg..!”
“Apa ama aku???”, tanya Dewi dengan senyum.
Deggh!!I ... jantung Samba terasa berhenti ... “tidak tahukah kau Wi, itu yang kuharapkan?”,jeritnya dalam hati. Tetapi melihat Dewi berkata dengan senyum …. pasti dia bercanda!pikirnya, maka iapun menjawab sesantai mungkin … “boleh-boleh ... tapi trus Boma dikemanain?”
“Ya biar disitu saja ... ditempatnya semula …”
“Ah yang bener Wi …?”, Samba terlihat antusias dan Dewipun tergelak.
“Ehh kamu tu, aku udah GR nii”
“Ya … bener?!”, canda Dewi lagi.
Sudah kepalang basah, Samba dengan mimik serius akhirnya mengaku. ”Iya, tempo hari waktu kita berkenalan di rumah Boma, aku merasakan cinta pandangan pertama …”
Dewi kemudian diam, wajahnya langsung berubah, dan Samba sangat menyesali dengan apa yang ia ucapkan tadi.
“Serius Sam?”, selidik Dewi.
Mendengar pertanyaan Dewi, Samba merasa mendapat angin, “Iya.!”, jawabnya mantap.
Dewi menatap mata Samba dengan tajam, seolah mencari suatu kepastian hingga akhirnya ia berkata, “Sama, Sam !!!”
Dunia Samba terasa hampa, sukmanya terasa mengambang…,benarkah ...?, tidak salahkah yang ia dengar?
“Maksudmu Wi?”, ia masih ingin kejelasan.
“Aku juga langsung tertarik saat pertama kali melihatmu …, mungkin harus begini jalan kita untuk saling bertemu, Sam…”, kata Dewi lirih sambil menghela nafas dalam-dalam. Tidak terasa tangan mereka telah berpegangan erat … seolah tak ingin dilepaskan lagi.
“Bagaimana dengan Boma Wi? … kita telah mengkhianatinya ...”, pertanyaan itu mengambang tanpa jawab sampai ada suara pintu dibuka, ... cepat-cepat mereka melepaskan genggaman.
“Wadauuu … maafya Jeng, nunggu sampai lebih dari dua jam. Udah rapat mendadak, pulangnya masih aja macet. Sorry Sam jadi merepotkan“, cerocos Boma tanpa membaca gelagat.
“Iya ni, kasian dia, sebenarnya sudah tutup dari jam 7 tadi”, sahut Dewi seperti tidak terjadi sesuatupun sebelumnya.
“Engga pa pa, aku juga nunggu biar engga begitu macet dulu jalannya, pulang jam 7 sama jam 9 nyampainya sama, capek di jalan”.
“Bener juga ya?! by the way, kita jadi makan malam dulu kan jeng?”, kata Boma sambil menoleh ke arah Dewi. Yang ditanya mengangguk.
“Thanks ya Sam, sorry engga bisa lama-lama, takut udah pada tutup warung makannya”, pamit Boma tanpa basa-basi sambil merangkul pinggang Dewi. Mereka bertiga kemudian keluar ke tempat mobil Boma diparkir.
Sepeninggal mobil Boma, ia masih tegak berdiri. Tangannya bersidekap, matanya menerawang memandang langit diatasnya, tidak begitu cerah, hanya ada satu dua bintang yang terlihat .., tetapi ia tak peduli akan hal itu, hatinya masih gundah, masih tidak percaya dengan yang ia alami barusan. “Benarkah Dewi Hanawati, tunangan Boma, jatuh cinta padanya … ? Haruskah aku senang atau sedih?” pikirnya.
Senang karena aku tidak bertepuk sebelah tangan, sedih karena harus mengkhianati saudara tiriku, terpikir juga keraguan, “Dewi dengan gampang mengkhianati Boma, apakah nanti tidak dengan gampang pula mengkhianatiku?”, Samba terpekur lama tapi ia tak juga menemukan jawaban. Akhirnya ia memutuskan untuk masuk kliniknya, memeriksa administrasi, mengunci semua pintu dan pulang.
Hari Sabtu harusnya prakter dokter gigi tutup, tetapi pagi itu Samba sudah duduk di kursi pak Wawan pegawainya. Dia cari kartu status Dewi, “Moga-moga ia mencantumkan nomor HP-nya “, tanpa terasa kalimat itu keluar lirih dari mulutnya.
“Yessss!!!”, teriaknya kegirangan ketika dugaannya benar. Langsung dia ambil HP-nya dan menelepon.
“Hallo, siapa ni?”, suara di seberang telepon.
“Aku, Samba”, sebelum Dewi menjawab, ia meneruskan, “Wik, apa yang kamu katakan tadi malam benar? “, tidak ada sahutan.
“Kamu sekarang dimana?”, Dewi balik bertanya seolah tak menghiraukan pertanyaan Samba.
“Di tempat praktek”
“Kamu Sabtu praktek?”
“Enggak, … aku mencari nomor HP-mu ...”, jawab Samba jujur.
“Okey, aku sekarang meluncur ke situ, tunggu aku”
Samba menunggu dengan harap-harap cemas, rasanya mungkin melebihi saat menanti hasil ujian profesi. Kurang dari satu jam, Dewi datang.
“Sorry, nunggu lama ya?”
Samba tidak menyahut, matanya terpukau pada sosok Dewi yang pagi itu memakai T-shirt biru tosca dipadan legging putih … dengan riasan wajah yang tipis, semakin tampak putih dan segar …
“Hai! diajak ngomong kok malah bengong!”
“Aku baru memandang seorang Dewi ...”, kata Samba berterus terang, sambil kedua tangannya membuat isyarat tanda petik. Wajah Dewi bersemu merah, tambah cantik.
“Aku tidak mau menjawab di telepon tentang pertanyaanmu tadi, menurutku soal ini harus dibahas face to face”, kata Dewi sambil mencari kesan. Samba menunggu ...
“Kalau aku, tetap sama dengan yang kuutarakan tadi malam Sam!“, lanjut Dewi setelah melihat Samba terdiam.
“Lalu?”, tanya Samba penasaran.
“Maksudmu?”, Dewi ganti bertanya.
“Bagaimana rencana pernikahanmu dengan Boma?”
“Aku akan memutuskan hubunganku dengan Boma secara perlahan, beri aku waktu”
“Tapi kalau begini aku pengecut Wi. Lagian persiapan pernikahan keburu matang. Aku akan meminta kamu darinya ya???”
“Kamu tidak usah ikut campur dahulu, nanti malah runyam hasilnya”, pinta Dewi sambil memegang tangan Samba dengan erat, kemudian lanjutnya ” Sam, boleh idealis tetapi ya realistis. Apa kamu mau bunuh diri? Boma dan keluarga besarmu akan menentangmu, bahkan memusuhimu. Kalau aku yang mundur teratur, kemudian setelah semua selesai, aku dengan perlahan memperkenalkanmu. Untuk itu kita back street … gimana?”
Karena rasa cinta yang membuncah, akhirnya Samba setuju.
Hari-hari dilalui Samba dengan riang. Semua terasa indah walau kadang cukup memacu adrenalin ketika sedang makan diluar berdua kemudian melihat seperti mobil Boma lewat, atau hal-hal lain yang kemungkinan akan menguak hubungan mereka.
Tiga bulan kegiatan back street berjalan lancar, hingga suatu malam Dewi datang ke tempat praktek dengan muka kusut.
“Ada apa Wi, kok kamu agak lain malam ini?”, tanya Samba setelah praktek tutup dan tinggal mereka berdua di ruangan.
“Boma ingin memajukan hari pernikahan …”. Samba merasa disambar petir mendengar jawaban Dewi, “lalu kamu ceritakan tentang hubungan kita?”, tanya Samba menggebu.
“Tidak, aku ternyata tidak punya keberanian. Apa yang harus kulakukan Sam?”, kata Dewi sambil berurai air mata. Dewi kemudian menangis di pundak Samba, Samba memeluknya, menenangkannya, hingga semuanya lupa …. Dan kursi gigi menjadi saksi perbuatan mereka ….
Hampir lima minggu Dewi susah dikontak. Akhirnya, yang dikhawatirkan Samba terjadi. Ada SMS dari Dewi,”Sam, aku telat“. Cukup singkat, tetapi cukup membuat dunianya serasa runtuh.
Kalau seorang suami yang mendambakan keturunan, tentu akan bersuka-cita bila mendapat sms itu dari istrinya, tapi ini?, aku akan bertanggung jawab!!! Dengan senang hati aku akan menikahinya, tetapi bagaimana aku harus bilang pada Boma, pada Papa?
Papa orangnya sabar, tetapi kalau melihat yang enggak benar dan ia marah besar. Ia seperti prabu Krisna yang bertiwikrama, berubah menjadi raksasa yang menakutkan. “Sanggupkah aku menghadapinya?”, Samba resah!
“Aku harus mengatakannya, tetapi aku harus menenangkan diri dulu dan mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapinya”. Langsung terlintas dalam benaknya eyang kakung di Solo yang begitu teduh, begitu menenteramkan hati ketika diajak bertukar pikiran.
Samba naik Garuda flight pagi, sampai di rumah eyang jam 10. Rumah sepi. Kata mbak Sumini, tukang cucinya, Eyang baru beli soto Nggading. “Ah untungnya tidak terlalu jauh”, pikir Samba.
Ia menunggu di perpustakaan mini milik Eyang. Buku-buku diperpustakaan itu tersusun rapi. Banyak buku tentang Bung Karno, buku tentang petualangan Jules Verne, Roman-romannya Shakespeare, karya-karya pemenang nobel sastra 1954, Ernest Hemingway dan tentu juga banyak tentang kejawen, semisal kitab tjhenthini, primbon dan wayang. Pandangan Samba kemudian tertuju pada buku wayang, yang berjudul nama dan riwayatnya. Ingatannya kembali ketika ia menanyakan pada mamanya apa arti nama Samba dan dia katakan bahwa Samba adalah anak prabu Krisna. Ia anak yang ganteng, tutur katanya halus, berkharisma … “Sembari menunggu kedatangan Eyang, aku akan membaca sendiri tentang namaku … “, pikir Samba. Tidak terlalu sulit untu menemukan namanya.
“Samba, Raden Samba adalah putra Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati. Raden Samba titisan Hyang Drema …”, Samba berhenti membaca dan langsung teringat akan mimpinya, apakah ada hubungan dengan mimpiku …?, pikir Samba, yang kemudian dengan antusias meneruskan …
”Hyang Drema, beristrikan Hyang Dremi, yang menitis kepada Dewi Hagnyanawati, istri prabu Boma Narakasura. Prabu Boma sendiri sebenarnya anak prabu Kresna juga, tetapi dari Dewi Pratiwi. Karena di khayangan mereka suami istri, maka di arcapadapun Hyang Drema dan Hyang Dremi ingin bersatu. Maka Raden Samba dengan diam-diam menjalin cinta dengan dewi Hagnyanawati hingga mengandung. Mengetahui istrinya dihamili Raden Samba, prabu Boma marah bukan kepalang. Raden Samba dicabik-cabik hingga mati. Mengetahui hal itu, marahlah prabu Kresna, tetapi Prabu Boma semakin marah dan menantang prabu Kresna, akhirnya Boma mati ditangan Kresna yang bersenjatakan panah Cakra ... “
Samba bergidik, buku yang barusan dibacanya diletakkan di meja yang ada di depannya …. “semuanya mirip!”
“Bahkan terlalu mirip! … mimpi itu, juga nama-nama. Papa namanya Krisna, mamakuWati, mirip Jembawati, ibunya Raden Samba. Mamanya Boma namanya mama Tiwi, Pratiwi, sama dengan ibunya Boma Nakasura. Dewi Hanawati dengan Hagnyanawati…, sama-sama mengandung karena Samba … lalu … apakah aku juga akan dibunuh Boma? akankah papa murka dan membunuh Boma?”
Dada kiri Samba terasa perih, nafasnya sesak ... kepalanya berputar! Tak lama kemudian, ia jatuh … terjerembab ke lantai … tak bernafas!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H