Aku mulai mengepak baju. Lewat telepon suamiku kemarin berpesan agar tidak usah bawa banyak-banyak, nanti beli baju di Jakarta saja. Aku menurut. Walau pindahan rumah, aku hanya membawa baju satu koper. Hanya beberapa baju pergi dan daster-daster kesayanganku. Aku tahu Jakarta panas, pasti enak di siang hari memakai daster berbahan kain santung. Semakin lama dan semakin sering dicuci semakin nyaman dipakai walau kadang warna jadi agak pudar.
Selama ini suamiku keliling dari pulau ke pulau di seluruh Indonesia bahkan kadang beberapa bulan bertugas ke luar negeri, terserah dimana perusahaan minyak tempat suamiku bekerja menugaskan. Agar dua anakku sekolahnya tidak berpindah-pindah, yang tentu akan berpengaruh pada psikologi dan prestasinya, maka aku memilih tetap bersama kedua orangtuaku di Boyolali, Jawa Tengah. Selain itu aku dapat terus mengajar di SMP negeri Boyolali, tanpa takut meninggalkan anakku di rumah ketika aku mengajar karena bersama kakek neneknya. Hampir 20 tahun aku dan suamiku hidup terpisah. Hanya dua, tiga bulan sekali bertemu beberapa hari, kemudian ditinggal keliling lagi, atau pada saat cuti lebaran baru dapat bertemu seminggu penuh. Bulan Agustus kemarin anakku yang bungsu nenyusul kakaknya kuliah di Depok, Jawa Barat. Sudah saatnya aku berkumpul dengan suamiku, serumah dari Senin sampai Minggu menikmati hidup bersama. Aku dan suamiku mulai mewujudkan rencana kami. Aku mengajukan pensiun dini dan dikabulkan, dan beberapa bulan yang lalu ketika ‘ngglenik’ di kamar tidur, suamiku bercerita kalau pengajuan kerja di pusat juga sudah disetujui perusahaan. Kemudian kami mencari rumah di Jakarta Selatan, tidak jauh dari Depok dan tidak jauh dari tempat suamiku bekerja. Akhirnya kami menemukan rumah yang kami rasa cukup nyaman dan sesuai dengan tabungan kami. Kebetulan daerahnya termasuk kawasan elite.
Siang hari aku telah tiba di depan rumahku yang baru. Sengaja aku belum memberitahu anak-anak tentang kepindahan kami di rumah ini, kami ingin menikmati masa pengantin baru yang tertunda 20 tahun lamanya. Berdua kami memandangi rumah baru hasil jerih payah kami. Tanpa terasa air mata mengalir, bahagia dan bangga. Suamiku tersenyum dan memelukku mengajakku masuk ke dalam rumah. Ketika pintu dibuka, rumah telah terisi perabot lengkap. Ternyata ketika tugas di Jakarta selama sebulan yang lalu suamiku menyempatkan diri untuk membelinya. Dan semua sesuai dengan selaraku. Benar- benar bahagia hatiku. Kupeluk erat suamiku dan tak lupa kubisikkan terimakasihku.
Sorenya suamiku mengajakku jalan-jalan ke tempat pembelanjaan di kawasan Thamrin. Aku memilih-milih baju dan kuambil blouse yang kusuka, “Bagus ya, sederhana potongannya, kainnya kayaknya juga enak dipakai nih… tapi engga salah ini harganya mas?” tanyaku ketika melihat harganya 7 digit. Suamiku tertawa, “gajinya mama sebulan cuma dapat dua“ lanjutnya tapi tangannya meraih baju itu dan menyerahkannya ke pramuniaga. ”lho kok?” tanyaku. “Biar sekali-kali punya baju mahal..” jawab suamiku santai. Kemudian aku dibelikan parfum, make up dan makan malam. Serasa bulan madu, aku dimanjakan. Kami makan di restaurant dekat air mancur yang tiap dua jam sekali bisa bergoyang mengikuti irama musik. Sambil menunggu pesanan, kami mengobrol ditingkahi suara musik jazz tempo dulu. Tiba-tiba mataku tertuju pada pasangan yang meninggalkan meja dengan banyak makanannya yang tersisa.” Mas kenapa engga mereka bungkus saja ya? sayang kan makanan dibuang, lagian kan di resto ini semuanya mahal? kalau dianya engga mau, dikasihkan orang di rumah kan bisa, kan masih bagus dan enak..”kataku tanpa bisa menahan rasa penasaranku. Suamiku lagi-lagi hanya tersenyum, dan mengelus kepalaku seperti ke anaknya... “jeng…….jeng! gengsi lagi jeng, orang kaya gitu itu gengsinya gedhe!”. Sebenarnya aku ingin mendebat, orang sudah dibayar pakai uang sendiri kok gengsi mbungkus, engga nyuri kok malu, pakai uang korupsi tu, na baru malu! Tapi udahlah, daripada merusak malam minggu pertamaku setelah sekian lama…
Ternyata hidup bersama banyak sekali bedanya dengan hanya beberapa bulan sekali bertemu. Aku mulai menemui benturan- benturan kecil yang selama 20 tahun belum pernah kami alami. misalnya dengan kebiasaan-kebiasaan suami meletakkan segala sesuatu tidak pada tempatnya membuatku sering uring-uringan bila mencari, kunci mobil misalnya, kadang diletakkan di dapur atau kadang ku temukan di tumpukan koran. Ketika pulang ke Boyolali menengok aku dan anak-anakku tidak pernah protes ketika melihatku memakai daster, sekarang melarangku untuk memakainya. “Sesuaikan dengan sekitar dong jeng..” katanya. Walau dengan cara halus dia menegur, tetap saja aku merasa diatur. Tetapi ternyata ada benarnya kata suamiku. Ketika jalan-jalan pagi, mbak-mbak yang menyapu di depan rumah-rumah yang kami lewati saja memakai celana pendek atau celana panjang bahkan ada yang berbahan jeans. Apa nyaman ya? pikirku. tapi yang makai dia kok aku yang repot. Kalau aku sih sebenarnya tetep pilih daster santung yang menyerap keringat, longgar dan nyaman dipakai.
Aku mengantar suamiku ke depan gerbang rumah. Hari ini hari pertama dia bekerja setelah kami pindah rumah. Aku sudah mandi dan berdandan rapi memakai kaos hijau berkerah dan rok span warna senada. Aku sengaja melakukannya agar suamiku bekerja berbekal ingatan akan istrinya yang segar dan sedap dipandang mata. Siapa tau juga ada tetangga baruku yang melihat, kesan pertama masak sih pakai daster? Ketika suamiku sudah berangkat dan mobilnya menghilang di tikungan, aku iseng melongok ke rumah sebelah kiri, hanya ada mbak yang sedang menyapu taman. Kemudian aku melihat ke sebelah kanan rumahku, masih sepi bahkan lampu tamanpun belum dipadamkan. “Kesan pertama ke tetangga gagal nih” ejekku pada diri sendiri sambil tersenyum kecut dan kembali masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama terdengar dering telepon, ternyata dari ibu Lina, tetanggaku yang dituakan di lingkungan rumahku. Baru dia yang kukenal karena dia perantara waktu kami membeli rumah yang kami tempati ini. Dia mengajakku kumpul ibu-ibu warga. Kalau di kampung asalku, kalau ada warga baru, dia memperkenalkan diri dari rumah ke rumah di sekitarnya, atau membagikan makanan nasi atau roti yang diberi tulisan perkenalan, tetapi di lingkungan ini lain, jangankan untuk berkenalan, membunyikan bel pintu saja kadang tidak dibukakan pintu. Makanya mendengar ajakan itu pikirku, “Wah ini kesempatan untuk memperkenalkan diri dan bersilaturahmi.”
Sore ini aku sudah rapi, walau hanya pertemuan ibu-ibu warga, aku akan memakai baju pergi yang kubawa dari Boyolali, aku tidak boleh memalukan. Bajuku kupadu dengan sepatu dan tas, tampak serasi. Sesampai di pintu pagar tempat pertemuan sudah terdengar suara ibu-ibu bercanda. Dengan berbekal pengalamanku sebagai guru SMP yang sering berjumpa dengan banyak orang tua murid dan kursus-kursus ketrampilan yang aku ikuti, aku percaya diri saja masuk dan memperkenalkan diri kemudian mengobrol dengan mereka. Menurutku mereka baik dan menerimaku. Tidak ada kesan sombong, malahan aku agak tidak enak karena bajuku terlalu terkesan baju pesta sedangkan baju-baju mereka sederhana. Tapi astaga! ada yang pakai blouse seperti yang suamiku belikan kemarin, hanya warnanya yang lain. Alamak! baju sekian juta untuk pertemuan warga? ataukah mereka semua begitu? sederhana tapi branded? Untunglah sepertinya mereka tidak mempermasalahkan penampilanku. Bahkan ada ibu cantik yang berpenampilan anggun mendekatiku. Umurnya mungkin sepantaran denganku. Dia memperkenalkan diri, namanya Bea. Kami bisa mengobrol akrab, sebenarnya dia yang banyak bertanya, tapi aku anggap itu wajar karena aku warga baru. Ketika waktunya makan, kami duduk bersebelahan dan kami tetap mengobrol sembari makan. ”Ngomong-ngomong kamu pakai parfum apa ni, wanginya lembut!” kata Bea yang mulai ‘beraku-kamu’ karena merasa sudah akrab. Untung saja aku ingat merk parfum yang kemarin dibelikan suamiku. “Chanel no. 5” jawabku pasti. “Ooo… pantas lembut” sahutnya lagi sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya. Tanpa terasa acara sudah selesai dan aku pulang dengan hati riang.
Sudah setengah tahun lebih aku di perumahan itu, tetapi tidak ada pertemuan lagi. Katanya pertemuan itu 3 bulan sekali maka aku bertanya ke ibu Lina maupun Bea tetapi katanya memang tidak ada pertemuan karena kesibukan masing-masing. Dengan berlalunya waktu akhirnya kudengar juga rumor yang menyakitkan. Sebenarnya masih ada pertemuan rutin itu hanya saja aku tidak diundang karena katanya aku berpenampilan norak, udik, tidak tau table manner, tidak bisa membedakan sendok sup dengan sendok makan. Konon mereka memberikan aku julukan si cenil karena aku melafalkan CHANEL dengan cenel seperti cenel tivi dan membaca “No.” dengan nomer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H