Mohon tunggu...
Hardini Mahanani
Hardini Mahanani Mohon Tunggu... -

Meninggalkan profesi dokter gigi sejak lebih sepuluh tahun lalu untuk menjadi manajer rumah tangga 'full time'. Baru mulai nge-blog dan belajar menulis yang ringan-ringan untuk selingan disela-sela kesibukan rutin dengan si kecil. Hobby traveling, meski belum banyak tersalurkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keep on Smiling, Anna!

3 April 2011   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perkenalkan namaku Anna Karenina. Ayahku yang menamakannya. Entah kenapa ayahku sangat senang dengan segala sesuatu berbau Rusia. Negara Eropa timur itu seolah menjadi kiblatnya. Konon ayahku pernah dipenjara karena kecintaannya ini. Tentang partai komunis, tentang Leninisme, Karl max, atau faham-faham yang lain aku tidak tahu dan tidak mau tahu, menyebutkannya ini saja aku sering salah. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan ayahku, kenapa ayahku dipenjara, semua serba abu-abu, membuatku pusing dan aku tak mau ambil pusing.

Untuk karya sastra, ia cinta mati dengan Lev Nikolayevich Tolstoi yang terkenal dengan nama Leo Tolstoi. Anna Karenina adalah nama tokoh cerita yang juga menjadi judul novelnya. Setelah membaca novelnya, aku heran kenapa ayahku menamakan dengan Anna Karenina, bukankah ia seorang istri yang menyeleweng dan mati bunuh diri? "amit-amit!" kataku sembari jariku kugenggam dan mengetukkan ke meja tiga kali, yang kata orang, untuk menolak tulah.

Dikala senggang, dengan fasih ayahku akan bercerita tentang esai-esai Lev, "Dalam apa terkandung kepercayaan saya", "Kerajaan Tuhan ada dalam diri saya", juga cerita panjang, "Catatan pangeran Nekhlyudov", sepertinya ia begitu mendalaminya. Ia dengan panjang lebar akan mengulasnya. Diam-diam dalam hati ini ada rasa kekaguman yang besar akan ayahku.

Aku dibesarkan dengan segala kasih yang ada. Aku tinggi, langsing, cantik, pintar, hanya, tidak kaya. Dengan cap mantan napi pulau Buru siapa yang akan mempercayai ayahku, siapa yang akan memperkerjakannya? apalagi menjadi pegawai negri, menggantang asap! Untuk bekerja mandiri butuh modal, sedangkan ayahku dipenjara puluhan tahun sejak dari belia, modal dari mana? Untung saja masih ada yang mau dia peristri. Seperti cerita-cerita klasik, ibuku penjahit dan ayahku mengerjakan apa saja, tukang apa saja asalkan halal. Untungnya lagi aku anak tunggal, nafas orang tuaku tidak harus 'senin-kamis' untuk membesarkan aku.

Aku sangat menyukai masa kanak-kanakku. Semua terasa ringan. Seingatku tidak ada satu haripun terlewatkan tanpa tertawa. Atau aku yang terlalu polos untuk merasakan cibiran orangtua teman-temanku, atau mereka belum tega memisahkan anak-anak mereka dari aku yang pandai menyanyi, menggambar dan sudah lebih dulu bisa membaca buku cerita dibanding anak-anaknya.

Kuingat tiap sore ada saja temanku yang membawa buku cerita dan memintaku untuk membacakannya. Rasanya senang sekali melihat mereka terpingkal-pingkal ketika aku bercerita dengan mimik, suara dan intonasi yang aneh. Sebenarnya kalau boleh, aku ingin berhenti di masa kanak-kanakku saja, jangan sampai kulewati masa SMP apalagi masa SMA yang menyakitkan itu. Kadang aku menangis sendiri di malam hari mengingat perlakuan guru yang menganaktirikan aku. Misalnya, sudah jelas aku yang lebih unggul, kenapa runner up-ku yang diutus ke lomba untuk tingkat yang lebih tinggi hanya karena aku anak seorang narapidana? Ada beberapa teman yang bersimpati padaku, menghiburku, tetapi lebih banyak yang melihatku dengan sunggingan bibir yang miring.

Apa salahku? aku bahkan belum lahir ketika ayahku dipenjara. Kadang aku menyesali langkah ibuku yang menikahi ayah. Tapi kadang aku juga kagum akan cinta ibu yang menihilkan segala kendala untuk mewujudkan impiannya berkeluarga bersama ayah. Kalau ibu tidak menikah dengan ayah, aku mungkin juga tidak setinggi ini, tidak pandai bernyanyi, tidak pandai menggambar, juga tidak senang membaca. Semua kudapat dari ayahku, dengan caranya sendiri dia menyemangati aku, mendorong aku untuk maju. Walau dia mantan narapidana, aku bangga padanya.

Pernah suatu malam aku ketahuan ayah menahan isak tangisku, tetapi ayah tidak mendekatiku, memelukku atau mendekapku, melainkan ia hanya membuka jendela yang persis  ada disampingku, ia buka lebar-lebar dan mulai menyanyikan lagu gubahan Charlie Chaplin, Smile ...

"Smile, though your heart is aching
Smile, even though it's breaking
When there are clouds in the sky
you'll get by
If you smile through your fear and sorrow
Smile and maybe tomorrow
You'll see the sun come shining through
for you

Light up your face with gladness
Hide every trace of sadness Although a tear may be ever so near
That's the time you must keep on trying
Smile what's the use of crying
You'll find that life is still worthwhile
If you'll just
Smile ..."

Setelah selesai, ia menutup jendela lagi, tanpa memandangku, dia menepuk bahuku seraya berkata "tegar ya nak..." kemudian dia berlalu dan menghilang di balik gordyn kamarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun