Mohon tunggu...
Hardini Mahanani
Hardini Mahanani Mohon Tunggu... -

Meninggalkan profesi dokter gigi sejak lebih sepuluh tahun lalu untuk menjadi manajer rumah tangga 'full time'. Baru mulai nge-blog dan belajar menulis yang ringan-ringan untuk selingan disela-sela kesibukan rutin dengan si kecil. Hobby traveling, meski belum banyak tersalurkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Persimpangan ...

22 September 2010   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuperiksa dompet travelingku, passport ada, tiket SQ 963 tanggal 15 May, jam 11.50 status ok, check! kemudian syarat bebas fiscal berupa fotokopi NPWP, fotokopi KK, check! Semuanya ada. Kumasukkan kembali dompet ke dalam tas tanganku. Kuambil dompet uangku dan kubuka, ada beberapa lembar ratusan ribu rupiah, belasan lembar ratusan dollar Singapura, beberapa receh, cukuplah untuk  beberapa hari. Toh kalau kurang aku bawa 2 gold credit card. Kukembalikan dompetku ke tempat semula dan aku kembali duduk tenang.

Kupandangi jalanan lewat kaca jendela mobil, macet! Di depanku berderet mobil-mobil kontener ke arah Tanjung Priuk. Sekarang jam 8 pagi, tapi baru sampai tol Kebun Nanas. Sudah lewat jalan tol, tapi tetap saja macet. Semoga saja masih keburu. Untung tidak bawa bagasi dan tidak perlu declare! Sebagai pembunuh waktu, kuambil BB-ku untuk meng up-grade status FB. Tapi sebelum kubuka internet, kuurungkan niatku itu, kumasukkan kembali HP-ku ke dalam tas. Kupalingkan wajahku ke arah jendela lagi, tetapi pikiranku melayang jauh ke depan membayangkan sesampainya aku di negeri jiran. Bagaimamana sikapku nanti ya? aku harus bagaimana? apakah aku harus bersikap sebagai teman lama? pacar ataukah apa ?

Sekedar tahu saja, sebenarnya perjalananku ini ada yang membiayai, alias prodeo! Bahkan hotelnyapun sudah di-booking-kan, Marina Mandarin kamar 1223. Tadi malam dia menelepon kalau aku tinggal meminta kuncinya di resepsionis. Dengan bercanda dia bilang: "bilang saja Mrs. Hartoko...."    Aaaaaaaah Mrs. Hartoko? Aku tersenyum geli ... Hartoko bukan suamiku, bukan pula selingkuhanku, bukan mantan pacar atau kasih tak bersambutku dulu. Ia adalah teman lamaku, teman biasa saja semasa SMA. Orangnya pendiam, berbeda dengan aku yang ceriwis. Kalau kepinterannya sih cukup encer, wajah tidak ganteng, tapi cukup enak dilihat. Kami lama tak bertemu, tersambung lagi secara tak sengaja lewat FB. Kemudian kami ngobrol lewat surel. Klop, semuanya mengalir, begitu lepas tanpa beban dan ada rasa serta suasana lain, tidak ada kata cinta atau rayuan apapun tapi membuatku serasa muda lagi ... membuatku muda, karena aku perempuan paruh baya. Dua anak perempuanku sudah kuliah, di Yogya dan Bandung. Teman anak-anakku memanggiku tante!...tante!... aku jadi inget lagunya Iwan Fals, tante yang kesepian. Aku tersenyum sumir. Suamiku Aryo lebih banyak di kantor atau ditugaskan di luar negeri dan anak-anak belum tentu sebulan sekali pulang. Tetapi aku bukan tante-tante kesepian yang di lagunya Iwan Fals ... persis oplet tua yang cari omprengan ... diujung jalan ...

Aku seorang ibu rumah tangga biasa, rajin dan tekun merawat dan membina rumah tangga, mengurus suami dan anak-anak, tidak neko-neko. Tidak pernah clubbing, bahkan ke pub saja aku tidak mau. Cerita ini berawal dari rasa penasaranku dan Hartoko untuk bertemu secara langsung setelah saling kirim surel secara intensif hampir 7 bulan. Aku tidak mau pertemuanku di Jakarta, karena aku dan suamiku punya banyak kenalan, begitu juga dengan Hartoko. Takut ada yang memergoki dan menggosipkan. Kemudian dia menyarankan pertemuan ini dan akupun mengiyakan. Dia memilihkan hotelnyapun di daerah Raffles Boulevard, jauh dari kawasan Orchard road atau Kampung Bugis dimana banyak orang Indonesia menginap. Baru kali ini aku pergi ke luar negeri tanpa suami. Begitu kuatnya keinginanku untuk bertemu Hartoko sampai aku rela berbohong pada suamiku. Kukatakan ada kondangan teman SMA di luar kota. Aku mencari waktu disaat suamiku mendapat tugas seminggu ke Sidney dan untungnya Hartoko, wiraswastawan itu bisa mengatur waktunya.

Kembali dalam hati aku bertanya, apa yang akan aku dan Hartoko lakukan disana? Sekedar ngobrol di lobi hotel, turun ke Marina Square dan sekedar window shopping berdua seharian, atau ... Aku merinding membayangkannya. Sanggupkah aku melakukannya? Bagaimana dengan Hartoko? duda beranak satu itu ... dia telah mengeluarkan uang sekian juta untuk pertemuan ini, apa yang ia harapkan dariku? Tidakkah ia inginkan sesuatu yang setimpal? Ataukah ia memang benar-benar murah hati untuk teman masa SMA-nya ... Sejenak logikaku mengajakku untuk berpikir dengan jernih, tapi bayangan untuk berbicara, berbagi cerita dengan orang yang mau mendengarkan melarutkan segala pertimbangan.

Kulewati pintu tol Prof. Sedyatmo ketika penggalan lagu instrumentalia Spring-nya Vivaldi mengalun. Ada panggilan di HP-ku, hatiku berdegup, mungkin Hartoko mengecek sampai dimana aku...Kulihat ke layar, ternyata anakku yang nomor dua.

"Hallo, ada apa Liz ?"

"Mama dimana ni ?"

"di mobil, jalan-jalan sama mang Karman..", mang Karman adalah sopirku, ku dengar suara tergelak diseberang telepon, lalu katanya, "asik dong berdua-duaan..."

"hush, ngawur aja !, tumben ni pagi-pagi telepon, nggak kuliah ?"

"kuliahnya sejam lagi ma, iya ni pagi-pagi nelpon soalnya ada kabar menghebohkan sih ma!, mama tau kan sama Rico anak manajemen yang aku ceritain kemarin ?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun