Mohon tunggu...
Halluna
Halluna Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Manis yang pingin tinggal di bulan. Memiliki kedekatan yang tidak biasa dengan DVD player dan konter donat. Gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu dan Cerita Tentangnya

5 November 2013   17:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:33 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kamu lelah bertanya akan arti sebuah kehidupan pada dunia. Kamu lelah menanyakan keberadaan Tuhan yang tidak kamu ketahui benar apa benar ada. Kamu mulai lelah dan marah. Jika itu bisa terjadi, kamu pasti akan lebih memilih mati. Terdengar cengengen dan tidak asyik sekali. Tapi kamu tak mau berhenti. Kamu masih mencari. Minimal untuk meredakan sakit. Minimal untuk menghentikan kangen.

Kamu tak ingin jujur pada dirimu sendiri kalau kamu sebetulnya adalah wanita yang lemah. Wanita yang rapuh dan membutuhkan seseorang untuk menemanimu nonton tivi. Tak ada. Lagi-lagi dia tak ada. Tak bisa memenuhi janji dan ucapannya sendiri. Kamu meradang, tapi kamu enggan. Kamu masih menginginkannya. Jika saja dia agamamu, dia pasti akan kamu tinggalkan dari dulu. Jika dia adalah Tuhan, mungkin kamu akan protesi setiap hari. Tapi dia itu DIA. Lelaki yang kamu cintai hingga ke dasar hati.

Sedikit berlebihan rasanya jika menyanjungnya sampai seperti itu. Tapi kamu tak bisa bohong. Kamu membutuhkannya saat dia tak ada. Saat kamu terjebak macet, lalu tanpa sengaja kamu menemukan pasangan yang berjalan beriringan berdua. Ya, kamu inginkan itu juga. Sayang, momen seperti itu seperti tidak akan terulang. Lagi, dia tak ada. Kamu sebal, tapi kamu tak bisa mengungkapkan. Laki-laki itu seperti sebuah harga mati. Kamu tak ingin menawarnya. Sama sekali.

Kadang, kamu ingin beralasan. Ya, kamu mau memberinya kesempatan. Kamu ingin memberinya lagi ruang, untuk menemanimu esok ketika kamu terjebak macet di jalan. Ketika kamu membutuhkan dukungan dan sangat ingin berbagi. Bukan hanya teman, tapi orang yang bisa memberikanmu pelukan dan juga kecupan di puncak kepala. Orang yang akan terus terang bilang kekurangan dan apa yang harus kamu lakukan agar keluar dari masalah yang sedang kamu ceritakan. Kamu butuhkan dia. Dan dia, selalu punya alasan untuk tidak memenuhi undangan dan permintaanmu. Kamu diam, tak menggubris. Karena kamu cinta. Benarkah itu masih cinta?

Hanya karena dia memberikanmu payung saat hujan turun, hanya karena dia yang ada saat tengah malam kamu belum tidur, hanya karena dia yang mau menggubris statusmu lalu kamu taruh dia di posisi tertinggi di hati. Kamu cinta padanya, begitu kamu bilang. Tapi aku yakin, dia tidak demikian. Dia tidak cinta kamu setinggi itu. Dia cinta, tapi tak ingin menyimpan resiko apa-apa. Dia selalu ingin menempuh jalan aman. Dan kamu hanya bisa diam. Kamu tak tahu harus menanggapi apa. Porsi kamu memahaminya sudah bukan lagi standar. Sudah taraf memuja. Jika dia adalah Tuhan, kamu sudah memprotesinya setiap hari. Aku yakin benar itu.

Dalam diam dan dalam doa kamu selalu berharap dan terbuka terhadap alam. Kamu memang membutuhkan cinta, tapi lebih dari itu. Kamu membutuhkan teman hidup. Kamu membutuhkan orang yang mempercayaimu setinggi kamu mempercayai Tuhan dan nabi. Kamu membutuhkan cinta, tapi kamu juga hanya menginginkan ada orang yang datang ke rumah ketika kamu menangis semalaman. Menanyakan padamu, kenapa dan ada apa. Kamu hanya perempuan yang memiliki mimpi sederhana tentang sebuah pangeran dan bahagia selamanya di akhir cerita. Siapa yang membuat cerita Cinderella? Ingin sekali kamu habisi. Karena dongeng itu kamu terkontaminasi dan berharap dapatkan juga pangeran sejenis yang akan mampu membahagiakanmu. Sayang, sampai hari ini pangeranmu membahagiakanmu hanya berdasarkan waktu kebutuhan. Belum selamanya. Karena kamu hidup di dunia nyata. Bukan di buku cerita.

Kamu lalu menutup akhir sebuah lembarang hubunganmu dengannya. Kamu lelah. Kamu sudah berhenti mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan juga agama. Mereka tak ada hubungannya dengan perasaanmu terhadap dia. Aku juga sependapat demikian.

Kamu hari ini berdandan. “Mau kemana?” tanyaku penasaran. Tidak biasanya kamu mengenakan blouse merah marun yang begitu manis di akhir pekan.

“Aku akan bertemu seseorang hari ini.” Katamu begitu lembut. Kamu masih menyisir rambut sebahumu.

“Siapa?” tanyaku masih antusias.

“Aku juga belum tahu. Kalo itu kita lihat saja nanti.” Kamu mengedipkan matamu lalu kamu berlalu.

Aku tersenyum. Aku senang akhirnya kamu mengabaikan tiket itu. Tiket untuk kembali pada keterpurukan dan sifat pesimis. Aku dulu selalu menyindirmu ketika kamu bilang kamu cantik. Tapi kini aku harus mengakui itu. Ya, kamu cantik dan kamu beruntung. Kamu sudah tersadar untuk membebaskan diri dari perasaan sendiri. Aku turut senang mengetahui itu.

regards

HL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun