Mohon tunggu...
Halluna
Halluna Mohon Tunggu... profesional -

Penulis Manis yang pingin tinggal di bulan. Memiliki kedekatan yang tidak biasa dengan DVD player dan konter donat. Gitu aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seseorang Tak Bernama

28 Oktober 2013   21:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:54 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesedihan itu masih belum pergi. Bukan karena ingin menyiksa diri. Melainkan baru itu cara yang diketahui untuk memupus kehilangan juga melambungkan sedikit harapan. Tidak ada satu pun niat membohongi. Seorang pun. Sekali pun. Tapi apa gunanya berbicara sekarang? Tidak ada. Sudah lama terjadi namun masih saja tidak sanggup mengusir rasa bersalah dan penyesalan yang meluluhlantakan nyaris seluruh pertahanan. Apa kamu percaya jika luka itu sudah menyakiti hati saat kebohongan itu dimulai? Apa ketika aku bilang aku menyesal pernah 'menjadi orang lain' agar bisa bersamamu, kamu percaya?

Tiap ingat tangisanmu waktu itu napasku selalu nyaris terhenti. Sakitnya "masih" ada di sana. Tidak mau keluar. Tetap mengganjal dan menekan. Apa kata maaf menebus? Tidak sama sekali. Bening yang menetes satu per satu dan jatuh ke bumi kali ini terasa lebih pedih. Lalu muncul satu pertanyaan. Apa aku masih 'aku'? Anggap saja aku tidak bernama dan kembali dengar aku bicara.

Apa kata-kata ini masih bisa kau cerna? Tubuhmu itu... Pernah ada dalam dekapanku. Menangis. Sakit. Dan saat itu aku seperti menyadari, kepergianmu seakan nyata dan bukan imaji. Hingga tak dapat dengan jelas dibedakan, mana bias yang lebih gelap dan pengap? Rasa bersalah ini...

Pelukan yang juga tidak terasa meringankan, lalu akhirnya kebersamaan yang diawali dengan kebohongan itu pun usai. Selesai dengan setumpuk penyesalan dan isak tangis yang hanya dirayakan aku sendiri. Aku lebih dari menyesal. Aku hancur. Dan lebih dari itu. Pelukan yang juga tidak bisa memaafkan. Pemuda ini, mungkin tidak akan bisa diraih kembali. Tidak dulu, atau sekarang. Sejak awal memang aku tidak pernah diharapkan. Hanya aku yang menerobos masuk dan menjadi pencuri. Tapi sayang, aku hanya bisa mengatakan ini untukku sendiri. Seseorang tak bernama itu, sudah jauh di alam raya sana. Menembus batas rasa sakit yang sudah sehitam jelaga. Dan aku mengatakannya, hanya untukku sendiri saja...

Regards

HL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun