Jika kamu memiliki kesempatan itu di tangan, entah dari kapan, sudah pasti akan segera kamu gunakan. Kamu tahu kamu tak lagi memiliki alasan untuk bertemu dengannya. Minimal kamu tahu, kamu harus punya alasan khusus terlebih dulu untuk bisa menegur dia di social media atau mengiriminya BBM dan mengajaknya bertemu. Kamu pusing sekarang. Rindu itu sungguh melelahkan karena sampai di akhir bulan kamu masih belum menemukan alasan.
Dulu kamu dan dia memiliki cerita. Kalian berdua. Tentu saja kamu yang lebih sering mendokumentasikannya. Bagi kamu, itu penting. Kamu selalu menganggap cerita yang ada di antara kamu dan dia begitu komersial. Bukan untuk dijual, tapi untuk kamu arsipkan. Kamu selalu bilang kalau kisah kalian ini seperti dongeng. Bagi kamu, dia seperti pangeran dan kamu adalah puterinya. Wajahnya yang bukan cuma ganteng tapi ganteng banget. Sikapnya bukan cuma ramah tapi ramah sekali. Pembawaannya yang tenang dan juga gaya bahasanya yang sopan membuat kamu selalu bisa jatuh hati setiap kalian habis bertengkar.
Pertengkaran kalian tidak pernah lama. Kadang, kamu kesal padanya akan sesuatu hal yang kecil dan remeh. Kamu tidak ingin tahu dan mendengar alasan jika dia mencoba untuk menjelaskan. Herannya, dia selalu punya cara untuk meluluhkan kamu yang sudah manyun dan tak mau bicara. Dia selalu tahu kalau kamu ingin didengarkan dan tidak ingin lama-lama berdiam. Kamu dan dia seperti bisa berkomunikasi dalam diam. Sebelum kamu ucapkan, dia selalu tahu apa yang kamu kamu. Kamu bahagia memiliki laki-laki seperti itu? Sudah pasti. Itu dia yang selalu kamu banggakan dan ceritakan pada teman-teman satu genk. Minimal kamu menikmati wajah iri dan sebal mereka tapi juga diam-diam mengakui keberuntunganmu memilikinya.
Yah, keberuntungan yang tak berlangsung lama. Karena ketika kamu tersadar kamu mulai ketergantungan akan kehadirannya, dia menghilang.
Dia pergi.
Menghilang bukan dalam konotasi horor seperti hantu yang tiba-tiba lenyap begitu, bukan. Tapi bagi kamu, horor ini benar-benar menakutkan. Kamu seolah tidak bisa lagi berjalan dan memandang ada apa di depan. Kamu kesepian.
Menurut kamu alasan yang dia kemukakan untuk baik-baik berpisah dari kamu sangat tidak masuk akal. Kamu menganggap dia yang egois dan tak memikirkan perasaan kamu sebagai perempuan. Padahal, lihat sesungguhnya apa yang terjadi? Kamu memang membuat dia lelah, dan kamu tak mau mengakui itu.
Kamu yang masih pura-pura buta akan kesalahan dan sifatmu terus menerornya dengan menanyakan apa yang salah dan apa yang kurang. Harusnya kamu sudah sadar dan tidak lagi menanyakan. Bahwa sesungguhnya yang harus memperbaiki diri itu kamu saja, bukan kalian.
Kamu kekanakan, kamu tidak tahu pada siapakah kamu harus mengeluhkan beberapa hal atau pantaskah kamu mengeluhkan itu semua sekarang? Namun hal yang paling mendasar adalah kamu sama sekali tidak menyadari, tidak adanya kecocokan di antara kalian sejak awal hubungan. Kamu memaksakan kehendakmu padanya. Kamu memaksanya untuk bersama denganmu tanpa peduli dia setuju atau tidak. Yang kamu tahu kamu sayang padanya dan dia sayang padamu. Tapi cinta, persetan dengan semua itu. Kamu tak pedulikan. Bagi kamu, tak ada bagusnya memperdebatkan itu sekarang. Sudah terlambat, kamu terlanjur ketergantungan.
Kamu tahu, dengan berpura-pura buta itu sangat menyakitkan. Tapi sayang, kamu memaskakan diri untuk melakukannya. Kamu tahu bahwa apa yang dia lakukan selama ini terhadap kamu adalah perhatian dari seorang kakak pada adik kelasnya. Bukan dari seorang laki-laki pada perempuannya. Tapi kamu tak mau peduli. Kamu memaksakan kalimat dan keinginanmu sendiri. Hingga kini kamu yang tersiksa, kamu menyalahkan bahwa dia lah yang tak ingin memperjuangkan bersama. Sebenarnya, apa yang harus diperjuangkan dan siapa yang harusnya memperjuangkan?
Sejak awal, kalian tidak pernah ada. Versi itu kamu tutup, kamu kubur dan yang kamu pamerkan adalah versi palsu menurut keinginanmu sendiri. Egomu berbicara, bahwa cinta memang harus seperti ini. Memperjuangkan. Sayangnya, kamu tak tahu. Hal seperti itu bukan memperjuangkan, tapi memaksakan kehendak. Dan kamu bukan cuma egois. Tapi kamu mengambil hak dan kebebasan orang lain. Orang seperti apa yang seperti itu, silakan teruskan sendiri. Itu pun kalau kamu masih punya nyali untuk mengakui kesalahanmu.
Lalu sekarang, kamu menderita. Menganggap bahwa apa yang dia lakukan sama sekali tidak berperasaan. Kamu kangen padanya, tapi juga tidak bisa bilang. Kamu takut, dia akan berpikiran macam-macam. Kamu takut, kamu dia tak ingin lagi memiliki satu hubungan dengamu. Tapi rindu ini, kamu benci harus mengakui, teramat tinggi dan susah untuk disuruh memahami.
Rindu kamu ngotot, rindu kamu tak mau tahu apa yang terjadi. Kamu yang lalu kewalahan menghadapinya seorang diri. Rindu yang tak kunjung mau mengerti ini juga butuh tempat untuk berbagi. Tapi sayangnya, dia tak ada lagi. Kamu sendiri. Tinggal rindu itu yang beruraian seperti hujan yang kini jatuh ke bumi. Menetes satu-satu, tanpa bisa kamu hitung berapa jumlahnya yang pasti.
Puri Mutiara, 11.45-04112013
Regards
HL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H