Seketika masyarakat Indonesia terhempas oleh berita kasus Suap Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar. Kasus suap ini seakan memberikan tamparan besar bagi instansi hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, lembaga tertinggi di Indonesia dalam hal penegakan hukum ternyata tak lepas dari praktik korupsi. Kasus suap yang menimpa pun tak main-main, kasus suap sengketa pilkada Lebak. Maka tak ayal, kasus sengketa Lebak ini menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah sengketa pilkada di belahan Indonesia lain juga rentan kasus suap?
Seiring berjalannya waktu, KPK secara umum menyebutkan bahwa pelaku suap ini adalah Tb. Chaeri Wardhana yang tak lain tak bukan merupakan adik kandung dari Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Tak berhenti sampai disitu, kasus pun berkembang menjadi korupsi Pengadaan Alat Kesehatan di Kotamadya Tangerang Selatan, yang akhirnya menyeret adik ipar Ratu Atut Chosiyah, yaitu Airin Rachmi yang merupakan Walikota Tangsel. Sebuah drama efek domino yang ditembakkan oleh KPK.
Memang belum bisa dibuktikan secara hukum oleh KPK dan Pengadilan Tipikor, tapi pernyataan dari KPK yang menyatakan bahwa kasus Banten merupakan kejahatan keluarga seakan melangkahi kewenangan hukum tersebut dan mungkin tak disadari bahwa pernyataan Abraham Samad seakan melupakan asas praduga tak bersalah yang selalu dijunjung dalam proses hukum. Publik pun melihat bahwa sepertinya KPK sangat pedas dalam penanganan kasus Banten ini. Bagaimana tidak, nilai korupsi yang diduga tak sebesar kasus korupsi yang lain. Sebutlah kasus Century yang mencapai 7 triliun, atau kasus Hambalang yang mencapai 463 miliar. Kasus Ratu Atut sendiri diduga berkisar 193 miliar, jauh dibawah dua kasus yang pertama disebutkan diatas.
Dengan tidak bermaksud menyalahkan KPK, kita bisa melihat bahwa KPK tidak bisa melakukan penanganan korupsi secara multitasking. Artinya, jika KPK terlalu fokus pada satu kasus, maka kasus lain akan terbengkalai. Ini artinya akan ada pihak tertentu yang diuntungkan. Apalagi yang diuntungkan adalah kasus-kasus dengan nilai nominal yang lebih besar.
Demokrat mungkin menurut penulis merupakan pihak yang diuntungkan dengan ketidak-multitasking-an KPK. Bagaimana tidak, kasus Century dan Hambalang seakan hilang dari pemberitaan. Hanya sesekali muncul. Entah ini merupakan kesengajaan yang dilakukan oleh KPK atau ketidaksadaran KPK bahwa instansi pemberantasan korupsi tersebut sedang dimanfaatkan secara politik. Kalau ternyata memang tidak sadar, masyarakat harus segera menyadarkan. Karena pemberantasan korupsi tidak mengenal skala prioritas, tapi harus dilakukan secara serentak. Apalagi, konsentrasi KPK di Banten terlalu ke Ratu Atut saja, padahal ada keluarga lain yang juga menjadi kepala daerah dan melakukan politik dinasti juga korupsi tapi seakan tidak terlacak oleh KPK, dan entah kebetulan atau tidak, keluarga lain itu juga merupakan kader Demokrat.
Maka akhir dari tulisan ini akan mempertanyakan, Ada Apa Dengan KPK? Bukan menyalahkan, hanya mengingatkan bahwa dengan keadaan KPK seperti ini, penegakan hukum untuk tindak pidana korupsi akan terus lambat. Korupsi baru muncul setiap hari, sedangkan korupsi yang sedang diungkap tak kunjung selesai. Maka jangan heran, kalau melarikan diri dari hukum korupsi di Indonesia bisa sangat mudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H