tidak sengaja saya melihat wallpaper handphone miliknyabergambar anak perempuan yang dipasang Mas Sawo. Ketika saya tanya siapa anak ini, ia menjawab "anak saya mas"
Ini mengenai teman ngobrol saya disaat malam, seorang perantau dari Gunung Kidul yg berjualan warung pinggiran khas jawa tidak jauh dari kampus saya. Seorang dengan postur badan kecil, umurnya sekitar 30 tahun, rambut pendek, dan wajah polos khas "wong cilik". Setiap malam ia menjadi pelayan warung kecil milik bosnya di daerah pertigaan Jatinangor depan pos polisi. Makanan yg dijual berupa nasi kucing, aneka gorengan, wedang jahe, susu, teh dan semacamnya. Biasanya pelanggannya banyak dari kalangan tukang ojek yang "ngetem" di pertigaan itu, juga mahasiswa seperti saya, bahkan terkadang polisi yang sedang bertugas di malam hari di pertigaan itu.
Ketika itu bulan ramadhan, saya bersama dua orang teman saya berniat mencari kehangatan di malam hari hingga memutuskan untuk nongkrong di warung itu. Hari itu adalah pertama kali saya jajan disitu dan tidak ada pelanggan lain yang membeli di warung itu kecuali kami. Disana kami selayaknya teman membuka berbagai macam obrolan sambil menikmati jajanan di situ. Sampai pada akhirnya kami mencoba mengajak ngobrol dengan penjaga warung itu. Diawali dengan basa - basi seperti menanyakan asal, berapa lama ia merantau, kabar anak dan istrinya, kami bisa sedikit mengetahui tentang dirinya dengan gaya bicaranya yang ramah dan lugu. "Nama saya Sarwono, panggil saja saya Mas Sawo" paparnya dengan logat jawa yang masih kental.
Saya yang kebetulan sangat tertarik untuk belajar bahasa jawa memanfaatkan momen ini. Kebetulan daerah tempat saya tinggal (kost) adalah daerah sunda sehingga sulit menemukan orang - orang seperti Mas Sawo. "Bahasa jawanya ini apa Mas? kalo ini, kalo itu, ini, itu, ini, itu" rasanya cukup banyak pertanyaan seperti itu yang kami lontarkan ke Mas Sawo. Hingga pada suatu saat, teman saya meminta sate usus pesanannya dibakar dulu agar lebih hangat. Sambil membakar sate usus pesanan teman saya, Mas Sawo menawarkan dengan bahasa jawa "Ngunjuk ?", teman saya yang mendengar bingung dan balik bertanya "ngunjuk itu apa mas?" dengan lugu ia mengatakan "ngunjuk itu kalo bahasa nasionalnya minum mas", seketika kami tertawa ketika mendengar Mas Sawo menempatkan kata "nasional" di pembicaraannya. Mas Sawo yang sadar akan ucapannya juga ikut tertawa sehingga suasanya di warung itu menjadi lebih cair. Setelah momen itu kami jadi lebih akrab dengan Mas Sawo dan seringkali nongkrong di warung itu.
Dibalik keluguannya Mas Sawo rupanya cukup bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarganya sepertinya. Di lain waktu saya nongkrong di warung itu sendirian, bersama Mas Sawo tentunya. Cukup membuat haru ketika saya meminjam handphone milik Mas Sawo untuk mengabarkan teman saya karena saya kehabisan pulsa, tidak sengaja saya melihat wallpaper bergambar anak perempuan yang dipasang Mas Sawo. Ketika saya tanya siapa anak ini, ia menjawab "anak saya mas". Lalu sedikitnya saya menyimpulkan, dibalik pencitraan dirinya yang terkesan santai, rupanya ia harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dirinya harus hidup terpisah dari anak dan istrinya dengan pendapatan yang pas - pasan, dan bukan tidak mungkin dibalik pencitraannya yang santai juga ia harus bertarung melawan perasaan rindunya kepada anaknya. Saya harap perkenalan kami dengan Mas Sawo dapat menghibur dirinya yang harus hidup terpisah dengan keluarganya.Barangkali cerita ini banyak ditemui dimana - mana, dan kenyataan seperti ini saya rasa banyak dihadapi oleh banyak orang diluar sana. Tetapi dibalik itu semua mereka memberikan banyak pelajaran dari pengalaman - pengalaman yang diceritakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H