Mohon tunggu...
Harbi Hanif Burdha
Harbi Hanif Burdha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menjadi Penulis adalah cita-cita saya

jikok dikumpa saleba kuku, kok di kambang saleba alam. walaupun sagadang bijo labu, bumi jo langik ado di dalam...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lubuk Bidadari

5 Maret 2014   06:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1393950751299456002

(Armen Zulkarnaen Caniago)

Sehari-hari, Ardi mengabdikan diri sebagai petani biasa. Walaupun Ardi tinggal di sebuah gubuk lapuk jauh dari perkampungan dan makan seadanya, tapi Ardi tetap bahagia. Ia hidup sendirian, setelah ditinggal mati oleh Ibu dan Ayahnya. dari kecil, ia tidak biasa dengan keramaian. Ia lebih memilih menyendiri di hutan.

Konon kabarnya, dahulu ia sekeluarga dibuang oleh orang kampung karena mereka difitnah sebagai pencuri dan Ardi kecil bertingkah seperti orang tidak waras. Ia sering berbicara sendiri dan tersenyum sendiri.

Untuk memasak, Ardi setiap hari harus ke hutan mengambil kayu. Sesekali ia pun ke perkampungan untuk menjual hasil kebunnya dan membeli sedikit bahan untuk dimasak. Kalau ia ke perkampungan, orang-orang ketakutan dan bersembunyi di dalam rumahnya. Kecuali Tek Nun dan Pak Roi, si pedagang sayur yang ramah dan baik hati. Mereka percaya, sebenarnya Ardi tidak gila. Ia mengerti apa yang Mereka bicarakan. Bahkan mereka juga sering berkelakar dengan Ardi.

Ardi : “Tek. Ada sayur bayam?”

Tek Nun : “Ada. Berapa ikat nak?”

Ardi : “satu cukup Tek. ”

Setelah Ardi berbelanja, ia pun langsung meninggalkan kedai Tek Nun.

Setiap pagi subuh, Ardi sudah berangkat ke sawah dan kebun peninggalan orang tuanya. Dari kecil, Ardi sangat menyukai dan menyayangi alam. Kalau mau menebang pohon, ia sempatkan untuk berbicara dengan pohon itu. di malam hari kalau ia lihat bintang, ia juga berbicara dengan bintang tersebut. “Pohon. Aku minta maaf, kalau aku menebangmu. Aku ingin menenam ubi untuk keperluan hidupku”. “Bintang. Tolong sampaikan pesanku kepada Ibu dan Ayah. Aku rindu”. Begitulah ucapan Ardi pada waktu itu.

Ardi merasa lelah, karena sudah seharian ia bekerja. Ia selalu mandi di sebuah lubuh nan indah tidak jauh dari gubuknya. Airnya bersih dan dipenuhi oleh banyak jenis ikan. Ia menganggap ikan bukanlah sebagai bahan makan. Tapi ia menganggap ikan sebagai teman, kalau ia sedang mandi di sungai. Ada seekor ikan yang setia menemani Ardi saat mandi. Ikan itu ia beri nama Baung. Mereka bermain layaknya sahabat dekat, walaupun ikan tersebut tidak bisa berbicara layaknya dia. Setelah merasa sudah puas untuk mandi, ia pun mengemasi barang-barangnya untuk segera pulang. Tiba-tiba…

“Tunggu”

Ardi terkejut mendengar suara seorang gadis dari arah lubuk tempat ia mandi. Pandangannya meliuk-liuk mencari sumber suara tersebut, tapi tidak seorang pun yang ia lihat.

Ardi : “Siapa kamu?”(ketakutan)

Sumber suara :“Jangan takut. Aku ikan yang selalu kamu ajak bermain”

Ardi : (takjub). Benarkah itu kamu?

Mata Ardi tertuju kepada seekor ikan yang sedang memandanginya dari tepi lubuk. Ia heran, sudah lama ia bergelut dengan ikan di lubuk itu. Tapi tidak seekorpun ikan yang bisa dia ajak berbicara. Ternyata, sumber suara itu berasal dari ikan yang ia beri nama Baung.

Ardi : “Baung…kamu bisa bicara”(menghampiri ikan)

Baung : “Benar sekali. Aku Baungmu. Aku terkesan dengan kebaikanmu. Maukah kamu jadi temanku untuk selama-lamanya”

Ardi : “Baik. Selama ini kitakan berteman”

Baung : “Ya. Tapi aku ingin menemanimu kemanapun kamu pergi”

Ardi : (heran) Bagaimana caranya.

Baung : “Besok Pagi, kamu kesini lagi ya. Nanti aku akan beri tahu jawabannya”

Ardi : “Baik lah. Besok pagi aku kesini lagi”

Ardi pun beranjak pergi meninggalkan Baungnya. Seribu pertanyaan muncul dibenaknya. Apa makna ucapan Baung tadi. Ia tidak sabar menunggu pagi. Bahkan matanya susah untuk dipejamkan.

Pagipun datang menjelang. Detik-detik dimana Baung menjanjikan Ardi sesuatu. Setelah bangun dari tidurnya, ia pun bergegas ke lubuk tempat dimana ia dan Baung bertemu. Sesampainya di lubuk, ia tidak melihat Baung.

Ardi : “Bauuuung…Bauuuuung.dimana kamu?”

Berkali-kali Ardi memanggil, tidak seekorpun ikan keluar dari lubuk itu. ia termenung di sebuah batu besar di tepi lubuk. Kecewa dan sedih. Ia kecewa, ternyata Baung tidak menempati janjinya. Ia sedih, Baung yang ia sayangi selama ini menghilang entah kemana. Air mata Ardi mengalir disudut matanya. Tiba-tiba, ia terkejut untuk kedua kalinya. Kemaren ada ikan yang bisa berbicara. Sekarang sosok perempuan cantik sedang berdiri di depannya.

Perempuan : “kenapa kamu menangis?”

Ardi : “siapa kamu?”(terbelalak)

Perempuan : “Aku lah Baungmu”

Ardi : “Benarkah kamu Baungku?”

Rasa bahagia yang tidak pernah ia rasakan seumur hidupnya. Iapun diam terpesona memandangi sosok cantik yang ada dihadapannya.

Baung : “iya. Akulah Baungmu. Maukah kamu menikah denganku?”

Ardi : “Menikah?”(terperangah)

Baung : “Iya. Menikah”(tersenyum)

(Diam)

Ardi : “Baiklah”

Tak lama setelah percakapan itu, mereka memutuskan untuk pulang dank e kampung untuk mengabari orang-orang untuk pernikahan mereka. orang yang pertama ditemua Ardi adalah Tek Nun dan Pak Roi. Orang kampung terperangah melihat kecantikan Baung. Tidak pernah mereka melihat sosok perempuan secantik itu.

Setelah pernikahan mereka usai, Ardi dan Baung memutuskan untuk tetap tinggal di gubuk. Padahal Tek Nun dan Pak Roi sudah menawarkan Ardi dan Baung untuk tinggal bersama mereka. Semenjak kepelangan Ardi dan Baung ke gubuk, mereka tidak pernah muncul lagi. ketika orang kampung mencari mereka, tidak satupun yang menemukannya. Kecuali lubuk yang sering diceritakan Ardi ke orang-orang kampung.

Lubuk tersebut berada di pelosok Kabupaten Sijunjung, di Nagari Sumpur kudus. Masyarakat memberi nama “Lubuk Pelakian”, karena dilubuk itu lah Ardi dan Baung bertemu dan menjalin hubungannya. Tapi nama tersebut kemudian hari berubah menjadi nama “Lubuk Pendakian”. Masyarakat percaya, kalau Lubuk itu mengandung mistis yang sangat besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun