Setiap jaman melahirkan manusia yang khas dan punya keunikan sendiri. Setiap jaman juga, para pelaku-pelaku hidup memiliki kisah berbeda yang akan diceritakan kepada generasi-generasi berikutnya.Â
Kisah masa itu bisa dijadikan sebagai masa-masa suram republik ini, sesama anak bangsa saling membunuh. Darah itu mungkin mengalir sampai ke sungai-sungai dekat tempat pembantaian dan pembunuhan itu. Rasa-rasanya, kalau dianalisis dari kesaksian para korban dan pelaku, maka tidak salah kalau paa peristiwa itu para pelaku pembunuhan itu matanya merah, emosinya meluap-luap, semangatnya dipropokasi dengan propoganda-propoganda pemerintah dan sang organiser. Lucu juga, bagaimana mungkin pembunuhan itu terjadi oleh masyarakat yang konon berinteraksi dalam sebuah perkampungan, hanya perbedaan ideologi dan paham, akhirnya "sepertinya" pembantaian atau pembunuhan itu di halalkan. Mengerikan, tidak salah juga kalau mereka pada kesaksiannya, merasa puas melakukan pembantaian itu. aneh ya?
Hari ini, tatkala para korban menuntut keadilan, meminta negara bertindak adil serta memperjuangkan haknya yang sudah lama hilang dan diabaikan. Mereka-mereka matanya sepertinya masih merah, mereka marah dengan keadaan itu. Mereka itu sepertinya membenarkan kejadian kelabu itu dengan argumen atas nama bangsa dan menyelamatkan simbol negara, ngeri ya?
Kisah, kesaksian mereka dihempang dengan slogan-slogan "bantai", "ganyang", kejam sekali bukan?, luar biasa, lebih 3 dekade peristiwa itu telah berlalu tidak ada penyesalan atas tindakan yang terjadi yang dilakukan dengan masih dan terstruktur. Para pelaku utama itupun, katanya tetap membela diri dan membenarkan bahwa itu tindakan "benar", coba bayangkan kalau mata mereka tetap merah, kemana arah masa depan bangsa ini?
(lanjut ke Air Mata Kesaksian) #sp
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H