Bagi kelompok teroris, senjata api merupakan tool paling penting dalam menjalankan aksi mereka. Demikianpun kelompok-kelompok pelaku teror di Papua yang pada 5 April 2014 lalu memporak-porandakan sejumlah fasilitas penting di area perbatasan Indonesia-PNG di Skow, Wutung, Papua.
Seminggu kemudian, seorang pedagang bernama Hery (20 tahun) yang kesehariannya berjualan di Pasar Skouw, dikabarkan terkena tembakan di lengan kirinya. Akibat aksi mereka, pintu perbatasan sempat ditutup selama sekitar satu bulan. Aktivitas pasar di perbatasan tersebut, serta lalu lintas orang maupun barang ikut terhenti. Yang rugi tentu saja masyarakat setempat.
Satu bulan pasca aksi teror di wilayah perbatasan itu, aparat Polda Papua berhasil mengungkap kegiatan penyelundupan senjata dan amunisi ke Papua di Pelabuhan Sorong. Polisi berhasil menangkap seorang pria berinital ‘YM’ di Pelabuhan Sorong, 6 Mei 2014. Dari tangannya disita satu pucuk senjata jenis AR 15, satu FN 46, satu revolver, dan tiga magasin serta 22 butir amunisi dan uang Rp80 juta.
“Ini akan dipasok ke kelompok kriminal di Pegunungan Papua,” kata juru bicara Polda Papua Kombes Pudjo Sulistyo. (viva.co.id, 19 Mei 2014).
Yang menarik untuk diterlusuri, senjata dan amunisi itu didapatkan YM dari Filipina bagian selatan. Menurut keterangan Polda Papua, YM melalui jalur laut dari Manado menyeberang ke Sanger, kemudian naik speed boath selama 6 jam masuk ke Filipina Selatan. Setelah mendapatkan senjata api dan amunisi, YM kembali masuk Indonesia melalui jalur laut dengan rute yang sama. Dari Manado, YM menuju Papua menggunakan Kapal Penumpang Lambelu dengan tujuan Nabire. Setelah tiba di Nabire, rencananya, YM akan menuju Pegunungan Papua untuk mendistribusikan senjata api dan amunisi.
Filipina Selatan, yang lebih dikenal dengan Davao dan Mindanao terletak di bagian utara Sulawesi dan Kalimantan. Di wilayah itu terdapat 27 suku, yang dikelompokan ke dalam tiga kelompok etnik, yaitu Moro, Lumad, dan kelompok etnik Dumagat.
Ketika menghubungkan dengan pengaruh kelompok Islam yang berada di Mindanao dengan aksi teror di Indonesia, bagi pandangan umum yang belum mengenal Mindanao, akan memiliki persepsi bahwa mayoritas penduduk Mindanao adalah Muslim. Ternyata fakta di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Mindanao beragama Kristen (sekitar 71 %) sedangkan presentase populasi Islam hanya 19 %.
Situasi politik dan keamanan yang tidak menentu di wilayah Filipina selatan yang dipicu oleh kompetisi antar elit politik lokal, memberikan konsekuensi logis bahwa keberadaan senjata api merupakan sesuatu yang sangat penting bagi keamanan kelompok elit politik lokal tersebut. Akibatnya, mendorong pula kebutuhan produksi senjata api di wilayah ini. (sumber: www.academia.edu ).
Saya melihat ada kesamaan modus dengan Papua. Ada kelompok teroris di Mindanao yang pecah dari organisasi induknya (perpecahan) lantaran keceewa karena kelompok lamanya memilih bernegosiasi dalam kerangka perluasan otonomi daripada berperang memperjuangkan kemerdekaan. Demikianpun kondisi riil dalam kelompok tentara OPM saat ini. Ada yang masih kukuh kuat mempertahankan ambisi untuk merdeka, sementara sebagian lagi memilih bergabung untuk medukung kedudukan elit politik lokal agar secara rutin mendapatkan jatah ‘kue’ dari dana Otsus.
Indikasi itu tampak jelas dari hasil pendalaman Polda Papua yang menemukan bukti adanya keterlibatan seorang oknum pejabat di Pegunungan Tengah dalam kegiatan penyelundupan senjata itu.
“Polda Papua juga sedang mengusut dugaan keterlibatan oknum pejabat salah satu Kabupaten di Pegunungan Tengah Papua dan diduga mendanai pembelian senjata tersebut.” Tulis Kompas.com 23 Mei 2014.