[caption id="attachment_215487" align="aligncenter" width="534" caption="Foto: Tempo.co"][/caption]
Mungkin bukan kebeteluan belaka, pada saat-saat akhir penentuan kemenangan Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) periode ke-2, orang yang dipercayainya menjadi Duta Besar AS untuk Indonesia, H.E. Scot Merciel sedang berada di Tanah Papua untuk bertemu sejumlah pejabat sipil dan militer disana. http://zonadamai.wordpress.com/2012/11/05/dubes-as-kunjungi-papua/
Bulan yang sama tahun lalu, Menlu AS Hillary Clintonusai berpidato di East-West Center di Hawaii, AS pernah‘sesumbar’ bahwa Pemerintah AS khawatir atas kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Karenanya pihaknya akan mendorong adanya dialog dan reformasi politik berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua. http://www.detiknews..com/read/2011/11/11/093652/1765168/1148/hillary-clinton-khawatirkan-situasi-di-papua?991101mainnews
Fakta ini membuktikan bahwa Papua memang penting bagi AS. Mengapa? Karena salah satu tantangan terbesar Presiden Obama dalam masa Pemerintahannya empat tahun ke depan adalah memulihkan perekonomian yang selama beberapa tahun terakhir ini dilanda resesi.
Dan sudah menjadi rahasia umum, perusahaan pertambangan Freeport McMoran yang sudah puluhan tahun menambang emas dan tembaga di Tanah Papua dengan nama PT. Freeport Indonesia (PT.FI) tetap menjadi salah satu sumber keuangan yang menjadi tulang punggung perekonomian Amerika.
Betapa tidak, dengan penghasilan miliaran dollar per tahun, PT.FI harus dijaga keamanannya, jauh lebih ketat daripada tahun-tahun sebelumnya.
Sekedar perbandingan, akumulasi pendapatan PT FI tahun 2004-2008 adalah US$ 17,893 miliar. Jika seluruh pengeluaran biaya operasi dan pajak yang dikeluarkan Freeport diasumsikan 50% dari total pendapatan, maka penerimaan bersih PT Freeport selama periode tersebut adalah US$ 8,946 miliar. http://asetindonesia.blogdetik.com/tag/freeport/
Agar ‘tambang emas’nya itu dapat beroperasi lebih maksimal, maka gangguan kemanan yang terjadi di sekitar areal pertambangan PT.FI harus sedapat mungkin dieliminasi. Barangkali untuk alasan ini, tahun lalu AS telah membangun pangkalan militer di Darwin, Australia Utara dan menempatkan 2.500 pasukannya di sana, agar lebih dekat dengan Timika, Papua dimana PT.FI beroperasi. http://hankam.kompasiana.com/2012/04/21/as-%E2%80%9Cmenjaga%E2%80%9D-freeport-dari-darwin/
Mengubah Pola Pendekatan
Kaitannya dengan kunjungan Dubes AS ke Papua awal pekan ini, selain untuk meninjau situasi keamanan di wilayah itu yang saat iniboleh dibilang relatif kondusif, juga untuk mendukung pengembangan kemampuan personil Polda Papua di bawah pimpinan Tito Karnavian.
Tampaknya AS terkesan dengan hasil operasi tertib selama tiga bulan terakhir, dimana ada banyak tokoh yang diduga terlibat dalam berbagai aksi penembakan, menyimpan senjata api dan bahan pembuat bom di Papua telah ditangkap untuk menjalani proses hukum.
Kendati pola ini dianggap benar secara hukum formal, namun di mata para aktivis kemanusiaan, termasuk Dubes AS, pola ini ibarat gigi ganti gigi, mata ganti mata. Senjata dilawan dengan senjata. Pelanggaran hukum diatasi dengan penegakan hukum. Meminjam istilah Pak Kapolda Papua, Tito Karnavian: menerapkan upaya paksa minimum.
Sekali lagi, itu tidak salah, tapi belum tepat karena belum ada jaminan bahwa aspek humanisme ikut disentuh. Siapa yang bisa menjamin, setelah menjalani hukuman penjara kelak, Danny Kogoya dan para pengikutnya dari kelompok OPM Kodap Abepura yang terlibat aksi penembakan Nafri I dan Nafri II yang ditangkap bulan lalu, akan berubah menjadi ‘warga Indonesia yang patuh’? Bisa saja di dalam penjara mereka justru merancang bentuk-bentuk perlawanan yang lebih radikal lagi terhadap aparat kemanan di Papua? Karena bagi mereka, Papua Merdeka harga mati.