Mohon tunggu...
Hamid Ramli
Hamid Ramli Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis Lingkungan ingin berkiprah di bidang politik lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kalau Bukan karena Peran Media, Apalah Artinya...

25 Juni 2014   19:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:58 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_330714" align="aligncenter" width="461" caption="Situs Kodam Cendrawasih pun ikut memberitakan kemeriahan Festival Danau Sentani-VII"][/caption]

Epen ka?’ Dialek khas Papua ini berarti ‘pentingkah?’ yang dilontarkan dengan nada agak sinis terhadap hal yang sebenarnya ‘penting’ tetapi dianggap ‘penting-tak penting’. Kaitannya dengan judul tulisan ini, ‘epen ka?’ memiliki nuansa ‘sangat penting’ karena peran media patut diakui sangat menentukan masa depan sebuah agenda pariwisata.

Salah satu contohnya adalah Festival Danau Sentani (FDS). Ketika FDS ini pertama kali digelar (tahun 2007) boleh dibilang sangat sepi pengunjung. Namun karena’meriah’nya publikasi media atas festival ini, dalam tempo singkat sekitar tujuh tahun, ia telah berubah menjadi tempat primadona tujuan wisata dunia. Itu bisa kita saksikan pada FDS VII pekan lalu. Kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara tergolong dahsyat. Di antaranya, banyak warga dari Kota Vanimo, provinsi Sandaun, PNG yang berduyun-duyun mengunjungi FDS VII, karena hanya membutuhkan waktu sekitar empat jam menuju Sentani melalui jalan darat maupun dengan perahu.

Festival selama lima hari yang dibuka Menkokesra Agung Laksono tanggal 19 Juni 2014 itu, memang sudah resmi ditutup Senin petang (23/6/2014) oleh Bupati Jayapura Mathius Awaitauw. Namun kemeriahannya hingga kini masih menjadi bahan perbincangan banyak orang.

Sepanjang pengamatan saya, atraksi seni-budaya yang disuguhkan memang nyaris sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Soal dua rekor MURI yang berhasil dicatat dari festival ini, juga bukan hal yang luar biasa kendati hal itu menjadikan FDS VII mendapatkan predikat baru. Yang istimewa bagi saya adalah soal antusias warga setempat dan keterlibatan warga pendatang serta yang tak kalah penting adalah peliputan ratusan jurnalis.

Tak heran jika selama festival ini berlangsung, kota Sentani yang biasanya hanya ramai di seputar bandara Sentani saja, kali ini merata ke hampir semua sudut kota. Pada malam hari, Kota Sentani yang berjarak sekitar 45 kilometer dari ibukota Jayapura ini seakan berubah menjadi pasar malam. Lebih-lebih di Khalkote, tempat berlangsungnya festival, sekitar 2000-an warga datang silih berganti untuk menikmati berbagai atraksi seni-budaya dan kuliner dari berbagai daerah yang disuguhkan di tempat ini.

[caption id="attachment_330716" align="aligncenter" width="483" caption="Foto: travel.detik.com"]

14036757071472317031
14036757071472317031
[/caption]

Terkait publikasi media massa, foto-foto unik dadn cerita menarik festival ini telah tersebark ke seluruh penjuru dunia, baik di media mainstream maupun media sosial. Sekali searching di google dengan kata kunci ‘Festival Danau Sentani’ kemeriahan festival ini serempak hadir dihadapan Anda. Bahkan situs Kodam Cenderawasih www.kodam17cenderawasih.mil.id yang biasanya didominasi berita-berita seputar aktivitas TNI di Papua, ikut pula menyuguhkan kemeriahan FDS VII. Apalagi Kompasiana sebagai media jurnalisme warga, ada empat artikel dan puluhan foto telah ter-publish di media ini, bahkan mengangkatnya menjadi Head Line. http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/06/20/budayaku-hidupku-berbagi-nilai-dari-festival-sentani--663276.html

Barangkali inilah salah satu tolak ukur keberhasilan sebuah festival budaya di era dunia maya saat ini. Apalah artinya sebuah festival tanpa publikasi? Persiapannya habis-baisan, atraksi yang disuguhkan sangat heboh, tapi kalau sepi publikasi maka turunlah derajat festival itu. Senasib pula kalau publikasinya sudah oke, tapi masyarakat setempat tampak apatis. Publikasi media pulalah yang memicu animo masyarakat setempat untuk terlibat aktif.

Tolak Ukur

Ini sebuah pembelajaran baru bagi bangsa Indonesia yang kaya akan tradisi, adat istiadat dan keindahan alamnya. Sia-sialah semboyan Bhineka Tunggal Ika yang telah diletakan oleh para pendiri bangsa ini jika kita menutup diri terhadap partisipasi warga pendatang. Demikian juga terhadap media, lebih-lebih terhadap kehadiran media asing di Papua.

Semoga ke depan, Papua tidak lagi menjadi daerah ‘tabu’ atau tertutup bagi para jurnalis, lebih-lebih jurnalis asing. Karena hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang mungkin ‘epen ka?’ di mata masyarakat dan pemerintah lokal, menjadi penting di ujung pena para jurnalis. Terbukti sudah, bahwa Danau Sentani yang tadinya hanya menjadi tempat orang Sentani mencari ikan telah berubah menjadi salah satu tempat tujuan dan agenda pariwisata dunia.

Mata pena dan lensa kamera para jurnalis terbukti mampu mengubah suatu hal atau peristiwa “from nothing to something”. Saya sangat yakin, warga Kompasianer sebagai anak kandung bangsa ini, banyak yang tergugah untuk berkunjung dan menikmati keindahan alam dan budaya Papua sebagai bagian dari budaya Nusantara. Semoga [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun