[caption id="attachment_252408" align="aligncenter" width="500" caption="Benny Wenda (tengah) didampingi pengacara Ham Jennifer Robinson dari Australia (Foto: zonadamai@worldpress.com)"][/caption]
Aktivitas Benny Wenda membuka kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, London menuai beragam polemik. Wali Kota Oxford bahkan ikut menjadi sasaran kecaman, karena tanpa berkoordinasi dengan Pemerintah Inggris, ia mau diperdaya Benny Wenda untuk menggunting pita, simbol peresmian kantorperwakilan OPM pada Hari Minggu pekan lalu (28/4/2013).
Hal itu terungkap dari pernyataan Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning melalui press release yang dikirimkan ke berbagai media nasional di Jakarta kemarin (5/5/2013).
Menurut Dubes Inggris, pemerintahnya sama sekali tidak terlibat urusan pembukaan Kantor perwakilan OPM di negerinya itu. Kehadiran Dewan peresmian kantor OPM itu sama sekali tidak mewakili sikap pemerintah Inggris. Dewan Kota Oxford meresmikan kantor OPM secara mandiri, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pemerintah pusat di London.
"Dewan Kota Oxford tidak memiliki pengaruh terhadap kebijakan luar negeri pemerintah Inggris. Mereka mengambil keputusan sendiri untuk meresmikan kantor Free West Papua. Segala bentuk tindakan mereka tidak ada hubungannya dengan pemerintah Inggris dalam hal ini," ujar Canning dalam keterangan tertulisnya.
Press release Dubes Inggris itu sekaligus merespon surat protes keras dari Pemerintah Indonesia melalui Dubes Indonesia di Inggris Hamzah Thayeb.
"Atas instruksi kami, Dubes RI di London telah menyampaikan posisi pemerintah tersebut kepada pemerintah Inggris," ujar Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa. Kemlu menyatakan langkah yang sama juga akan ditempuh melalui Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
Cuci Tangan Klarifikasi Dubes Inggris itu oleh Ketua Komisi I DPR RI, Mahfudz Siddiq dinilai sebagai upaya cuci tangan.
Sebetulnya bukan baru kali ini bentuk support Inggris bagi aktivitas kelompok pendukung Papua merdeka. Pertama, kalau merunut kronologi keberadaan Benny Wenda di Inggris, support itu sangat tampak. Benny bias kabur dari penjara Abepura, Papua, kemudian menyeberang ke PNG, mendapat paspor di sana lalu diterbangkan ke London dan mendapat suaka politik dari Pemerintah Inggris sejak tahun 2001 hingga sekarang.
Kedua, ketika Pemerintah Indonesia berhasil memasukan nama Benny Wenda dalam daftar Red Notice Interpol (daftar buronan Interpol) tahun 2011, setahun kemudian nama Benny dihapus. Alasannya, penetapan nama Benny dalam red notice itu berbau politis. Tapi anehnya, selama nama Benny belum dihapus, Interpol tak kunjung membekuk Benny, padahal mereka tahu betul dimana keberadaan Benny. Mungkinkah Inggris tak terlibat dalam proses pembebasan Benny dari daftar Interpol?
Ketiga, pada 2008, Benny Wenda bersama anggota parlemen Inggris Andrew Smith mendirikan sebuah organisasi berbasis di Oxford, London. Organisasi itu bernama International Parliamentarians for West Papua (IPWP) atau Kelompok Anggota Parlemen Internasional untuk (kemerdekaan) Papua Barat. Tujuan organisasi itu mengumpulkan para anggota parlemen dari berbagai negara yang mendukung kemerdekaan Papua. Saat ini, Bahkan IPWP diketuai oleh Andrew Smith. Organisasi ini sudah menjalar sampai ke Asia Pasifik. Akhir Februari tahun lalu, Australia melaunching IPWPAsia Pasifik beranggotakan sejumlah anggota parlemen dari Australia, Vanuatu dan New Zeland. Penggagasnya adalah Ricard Di Natale, tokoh Partai Hijau Australia.