[caption id="attachment_251436" align="aligncenter" width="517" caption="ilustrasi : rimanews.com"][/caption]
Momentum 1 Mei di Indonesia setidaknya mengandung tiga makna. Pertama, bagi kaum buruh, 1 Mei adalah Hari Buruh Sedunia. Banyak pabrik tutup sementara, karena ditinggalkan para pekerjanya yang tidak mau melewati momentum 1 Mei untuk berdemonstrasi ke pusat kota menuntut kenaikan upah dan peningkatan kesejahteraan. Pemerintah menjadi sasaran tuntutan, karena banyak kebijakan Pemerintah dinilai belum pro-buruh.
Kedua, bagi masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat, 1 Mei adalah Hari Integrasi untuk merayakan bergabung kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi yang ditandai dengan berkibarnya bendera Merah Putih berdampingan dengan bendera UNTEA (badan PBB yang mengurusi peralihan wilayah) pada 1 Mei 1963. Bagi mereka, merayakan 1 Mei memiliki makna mensyukuri sebuah pilihan politik yang tepat di masa lalu, karena terbukti selama 3,5 abad di bawah kekuasaan penjajah Belanda, Papua tetap miskin, terbelakang, dan tertinggal, namun setelah berintegrasi dengan NKRI, banyak kemajuan yang telah mereka nikmati bahkan dalam beberapa aspek, Papua telah menggungguli provinsi-provinsi lainnya.
Hari yang sama, beberapa kelompok aktivis Papua merdeka merayakannya sebagai 'Hari Aneksasi' karena menurut versi mereka bukannya Papua yang berintegrasi tetapi Indonesialah yang menganeksasi wilayah Papua yang telah dimerdekakan oleh penjajah Belanda pada 1 Desember 1962. Bagi sebagian kalangan, aspirasi para aktivis itu adalah bentuk lain dari tuntutan untuk mensejahterakan warga Papua. Lagi-lagi, Pemerintah menjadi sasaran tuntutan.
Ketiga makna itu memiliki benang merah. Yakni, bahwa kendati kita menyandang predikat sebagai 'Negara Kesatuan' namun sebetulnya 'persatuan' kita sebagai sebuah bangsa masih jauh dari ideal. Kalau mau jujur, dibandingkan dengan China dan Jepang, Nasionalisme kita boleh dibilang masih gamang lantaran bangsa ini masih terpilah-pilah dalam berbagai kepentingan politik etnis, politik agama, politik ekonomi dan politik-politik lainnya.
Contoh konretnya, orang Papua hanya berjuang untuk kesejehteraan Papua, agama mayoritas ‘boleh’ mendikte pemerintah, suara rakyat hanya dibutuhkan lima tahun sekali oleh elit politik, dan buruh masih diperlakukan sebagai komoditas ekonomi.
Belajar dari Bangsa Jerman
Soal integrasi, kita bisa belajar dari bangsa Jerman. Mereka menetapkan tanggal 3 Oktober, sebagai Tag der Deutschen Einheit (hari persatuan Jerman). Ini dilakukan untuk mengingatkan orang Jerman akan peristiwa 3 Oktober 1990 dimana terjadinya persatuan Jerman timur dan Jerman barat. Peristiwa integrasi kedua wilayah yang berbeda ideologi itu kemudian dimaknai secara monumental dengan pencetakan uang 10 Euro dari koin perak. Tujuannya, agar peristiwa bersejarah itu tidak mudah dilupakan orang, khususnya bangsa Jerman sendiri, dan lebih khusus lagi generasi baru yang lahir pasca runtuhnya tembok Berlin.
Peristiwa 3 Oktober oleh bangsa Jerman telah dimaknai sebagai momentum untuk memperkokoh rasa nasionalisme mereka sebagai satu bangsa nan utuh. Sementara bagi warga asing yang datang dan hendak tinggal permanen di negeri itu, Pemerintah Jerman mewajibkan mereka mengikuti program Integrasi Ausländer, agar semua orang dari etnis manapun yang menetap di Jerman memiliki rasa nasionalisme yang sama.
Peristiwa 3 Oktober 1990 di Jerman nyaris serupa dengan peristiwa 1 Mei 1963 di Indonesia, yaitu bersatunya wilayah Papua menjadi bagian tak terpisahkan dari NKRI. Sayangnya momentum 1 Mei sebagai Hari Integrasi Irian Barat hanya dirayakan di Tanah Papua. 1 Mei sebagai Hari Buruh juga tidak dirayakan oleh semua buruh di semua provinsi, apalagi mahasiswa. Para pelajar-mahasiswa tidak merasa bahwa urusan buruh adalah bagian dari dunia akademisnya. Lebih-lebih mahasiswa Papua, baik yang ada di Tanah Papua dan maupun yang sedang menimba ilmu di kota lain seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Manado, Makasar dan lainnya malah sibuk berunjuk rasa menolak kehadiran Pemerintah RI di Tanah Papua berikut program-program kesejahteraan bagi masyarakat Papua, seperti kebijakan Otsus dan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Padahal, mereka itu bisa studi di luar Papua dengan beasiswa yang berasal dari Dana Otsus.
Maka belajar dari Bangsa Jerman, barangkali tidak berlebihan kalau momentum 1 Mei perlu dimaknai untuk kepentingan yang lebih besar bagi 'persatuan' kita sebagai sebuah bangsa yang besar, Indonesia Raya. Misalnya dengan cara mencetak coin (uang logam) edisi khusus nominal Rp 500 berwarna kuning keemasan untuk memberi makna monumental atas utuhnya wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote yang hari ini genap berusia 50 tahun.
Semoga Momentum 1 Mei tidak berlalu begitu saja tanpa makna, tanpa mengkreasi upaya-upaya baru untuk membenahi Nasionalisme kita. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H