Mohon tunggu...
Hamid Ramli
Hamid Ramli Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis Lingkungan ingin berkiprah di bidang politik lokal agar kelestarian lingkungan tetap terjaga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Papua Beata Terra (bagian - 2)

6 Agustus 2012   17:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:10 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_198507" align="aligncenter" width="549" caption="Foto : dok. pribadi"][/caption]

Bukan hanya legenda, bahwa Papua adalah surga bagi para pecinta keindahan. Keindahan Papua ibarat Taman Firdaus yang diciptakan Sang Khalik. Kesuburan Tanah Papua juga bukan hanya isapan jempol. Bidikan kamera saya di bawah ini hanyalah salah satu cara untuk mengaguminya.

Kekaguman saya itu hanyalah pengulangan dari kekaguman yang sama oleh para pendatang bangsa Barat pada puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Sebagian dari mereka bahkan rela tinggal berlama-lama dan ingin wafat diatas Tanah ini. Mengapa? karena Papua adalah Beata Terra (Tanah yang diberkati).

Saya coba membawa imajinasi Kompasianer untuk menyusuri ‘Beata Terra’ ini dari timur ke Barat, dari Kota Jayapura menuju Bandara Sentani, melewati kota-kota penyangga Jayapura City seperti Entrop, Abepura dan Waena. Supaya tidak terlewatkan, Kompasianer silahkan mengklik URL berikut yang menyajikan keindahan Kota Jayapura : http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/08/05/papua-beata-terra-bagian-1/

[caption id="attachment_198509" align="aligncenter" width="567" caption="Foto : dok. pribadi"]

1344274304299019686
1344274304299019686
[/caption] Selanjutnya, Kompasianer dapat terbang bersama saya menikmati bagian terindah ‘Beata Terra’ yakni keelokan Danau Sentani dari Udara hingga mendarat di Bandara Frans Kaisiepo, Biak. Semoga rekan-rekan Kompasianer menyukainya.

[caption id="attachment_198508" align="aligncenter" width="545" caption="Foto : dok. pribadi"]

1344273914243292285
1344273914243292285
[/caption] Beberapa saat setelah lepas landas, kita akan terpesona oleh pemandangan di bawah ini : [caption id="attachment_198512" align="aligncenter" width="599" caption="foto : dok.pribadi"]
1344274676129762744
1344274676129762744
[/caption]

[caption id="attachment_198515" align="aligncenter" width="617" caption="foto : dok. pribadi"]

13442748312048323530
13442748312048323530
[/caption] [caption id="attachment_198516" align="aligncenter" width="620" caption="Foto : dok. pribadi"]
1344274910558114145
1344274910558114145
[/caption] Semakin jauh ke arah Barat, kita akan tiba di Biak untuk berhenti sejenak di Bandara yang penuh riwayat sejarah ini :

[caption id="attachment_198517" align="aligncenter" width="599" caption="foto : dok.pribadi"]

13442751951962511475
13442751951962511475
[/caption] Sejarah bandara Biak ini dimulai sejak tahun 1943, waktu Perang Dunia II. Setelah perang berakhir, tahun 1947, Belanda masuk dan menempati bandara ini. Sejak itu pula bandara di tepi Pantai Ambroben ini dan dinamai Bandara Mokmer. Pembangunan dilakukan oleh Belanda, pada tahun-tahun setelah itu, termasuk membangun hotel yang hanya berjarak 2 menit jalan kaki dari lapangan terbang.Hotel tersebut didirikan oleh maskapai KLM milik Belanda dan dinamai RIF Hotel, sebagai bagian dari rencana Belanda menjadikan Biak bagian dari rute penerbangan internasional keliling dunia KLM. Tahun 1959 Bandara Biak sudah siap didarati pesawat DC-8. Dan tahun 1960, KLM sudah menerbangi Biak dengan rute Biak-Tokyo-Amsterdam.

Tahun 1962 bandara Biak diserahkan Belanda ke badan PBB UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration) untuk memperlancar pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat). Tahun 1969, UNTEA menyerahkannya ke tangan Indonesia.

Tahun 1984, Bandara Biak diberi nama Frans Kaisiepo. Nama itu diambil dari nama seorang tokoh Papua yang lahir di Wardo, Biak pada tanggal 10 Oktober 1921. Ia adalah salah seorang peserta Konferensi Malino tahun 1964 dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Papua (hingga 1973). Frans Kaisiepo pulalah yang pertama kali mengusulkan pengunaan nama “Irian” sebagai pengganti “Papua”, meski belakangan dikembalikan ke nama semula. (Dalam bahasa Biak, Irian berarti ‘beruap’).

Frans wafat tanggal 10 April 1979 pada usia 57 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. 14 tahun kemudian, tepatnya pada 10 November 1993 Bangsa Indonesia mengukuhkannya sebagai Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya membangun Papua dalam bingkai NKRI.

Frans Kaisiepo telah tiada, namun semangat Merah Putih dari Biak hingga Jayapura sangat nampak, melalui pembangunan fisik dan non fisik yang terus menggeliat. Maka sebagai bangsa, mari kitalanjutkan perjuangan para Pahlawan membangun bangsa ini dariAceh hingga Papua serta terus menjaga dan melestarikan keindahannya sebagai Tanah yang Diberkati Tuhan. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun