Mohon tunggu...
Monika Harahap
Monika Harahap Mohon Tunggu... -

Somahe Kai Kehage. Dunia akan damai kalau hati semua umat manusia telah berdamai. Apakah kedamaian mustahil?

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengakuan Si Eks Parasit Lajang

2 April 2013   19:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:50 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13649061392110296307

Tepat pada tanggal 14 Februari lalu, Ayu Utami meluncurkan 2 buah buku karyanya sekaligus. Salah satu merupakan cetak ulang dengan judul “Parasit Lajang” yang telah diterbitkan sepuluh tahun yang lalu oleh Gagas Media. Sedangkan buku berikutnya berjudul “Pengakuan Eks Parasit Lajang”. Buku ini merupakan lanjutan dari buku sebelumnya, dan menjadi bagian dari trilogi bersama buku lain yang berjudul “Cerita Cinta Enrico”.

Kali ini, saya ingin membahas buku “Pengakuan Eks Parasit Lajang” saja. Buku ini menjadi semacam otobiografi Ayu mengenai pemikiran dan prinsip yang dipegang teguh olehnya. Walaupun saat melihat buku tersebut adalah otobiografi beliau, saya sedikit terkejut.

Saya berpikir, apabila seorang penulis menuliskan buku tentang dirinya sendiri dan wilayah pribadinya, meskipun mungkin akan di baca, dan memberikan dampak bagi orang banyak, merupakan titik dimana si penulis akan menemukan masa untuk beristirahat dari kepenulisan. Semoga saya salah. Iya, semoga salah.

Dalam “Pengakuan Eks Parasit Lajang” ini, Ayu bercerita mengenai alasan beliau memilih secara sadar untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak. Selain itu, Ayu juga bercerita mengenai pemikirannya tentang ketidakadilan yang kerap dialami oleh kaum perempuan, baik dari segi hukum, agama, dan budaya masyarakat.

Sejak mengalami akhil balik (sekitar umur 20-an) Ayu memutuskan untuk melepaskan masa keperawanannya dan memutuskan untuk tidak menikah. Hal ini beliau lakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap pola pikir masyarakat yang begitu memuja keperawanan perempuan, yang justru berdampak pada ketidakadilan, bahkan penindasan kepada perempuan. Betapa perempuan telah menjadi objek oleh rezim patriarkal yang menempatkan perempuan sebagai subordinat, rendah, lemah, dan rapuh.

Hal ini juga berkaitan dengan stigma yang diberikan kepada perempuan yang tidak maupun yang belum menikah ketika usia mereka dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Cap sebagai perawan tua menjadi momok dan penyakit bagi mereka. Tidak jarang mereka dikucilkan dan disepelekan hanya karena belum menikah. Tentu tidak dikenakan kepada para Biarawati, sebab tidak menikah bagi mereka adalah kewajiban.

Maka tidak jarang kita menemukan perawan tua yang membentengi diri mereka dengan kebencian, kemarahan, dan kejudesan. Bisa jadi ini akibat dari penilaian rendah yang telah mereka terima dari masyarakat dan diri mereka sendiri.

Melalui buku ini, Ayu ingin bercerita dan berbagi pengalaman mengenai keputusannya untuk tidak menikah dan melepaskan keperawanannya ketika berumur 20 tahun. Walaupun akhirnya Ayu menikah secara agama Katolik dengan kekasihnya setelah mereka hidup bersama selama sepuluh tahun. Lebih tepatnya, Ayu menikah secara kanonik Katolik, karena dalam kitabnya tidak ada tertulis bahwa suami harus menjadi imam dan pemimpin. Ayu tidak setuju bahwa suami harus menjadi imam maupun pemimpin isteri/keluarga.

Menikah bukanlah keharusan, tapi mungkin kebutuhan. Menikah hanya bagi mereka yang membutuhkan.

Tentu ini bisa menjadi alternatif kita dalam berpikir dan mengambil keputusan. Termasuk keputusan untuk menikah dan tidak menikah. Dan yang kita butuhkan adalah kesadaran, bukan paksaan. Kesadaran akan pilihan yang mungkin akan dipilih, bukan paksaan untuk memilih sesuatu karena banyak dipilih oleh orang lain.

Di dalam bukunya kali ini, Ayu juga berkisah mengenai hubungannya dengan beberapa lelaki. Lelaki yang beliau pandang sebagai manusia. Ayu berkisah mengenai hubungannya dengan beberapa lelaki sebagai hubungan antar sesama manusia. Apabila memaknai hubungan hanya sebatas lelaki dan perempuan, tentu salah satu akan menjadikan yang lain sebagai objek. Dan hubungan semacam ini dipandang tidak sehat.

Buku ini bisa di baca oleh siapapun, baik laki-laki maupun perempuan yang ingin menemukan alternatif berpikir mengenai kehidupan lajang atau menikah. Mungkin yang abadi adalah ketika kita selalu berusaha untuk mencari alternatif berpikir. Dan lagi-lagi kita hanya membutuhkan kesadaran, bukan pemaksaan.

Buku ini juga bisa menjadi semacam penyegar bagi mereka yang selama ini mungkin telah terzalimi maupun yang hobi menzalimi pihak-pihak yang belum menikah atau memilih untuk tidak menikah, apapun alasannya. Menikah adalah kebutuhan. Jadi, pernikahan adalah bagi mereka yang membutuhkan saja. Biarlah mereka menemukan sendiri cara dan jalan untuk menemukan pilihan itu.

Mungkin akan banyak tudingan maupun pertentangan mengenai isi buku ini, karena mungkin dianggap tidak sesuai dengan budaya ketimur-an kita bangsa Indonesia. Tapi, lagi-lagi demi menjunjung tinggi asas kemanusiaan, siapa saja berhak untuk memiliki alternatif berpikir di luar dogma-dogma yang telah dipegang teguh, bahkan yang secara sadar telah digunakan sebagai alat untuk melancarkan kekuasaan dan menindas.

Di satu titik, pernikahan Ayu bisa menjadi bentuk pengkhianatan kepada prinsip yang beliau pegang teguh selama ini. Bisa juga menjadi bentuk pengkhianatan bagi mereka yang menjadikan Ayu Utami menjadi salah satu figur yang menjadi contoh nyata bahwa tidak menikah adalah pilihan yang realistis, meskipun kadang di dorong oleh alasan yang irasional.

Tapi, apapun bisa berubah. Ayu yang mungkin dalam puluhan tahun hidupnya memutuskan untuk tidak menikah, pada akhirnya menikah juga walaupun dengan alasan yang khusus dan spesifik menjadi salah satu bukti bahwa hidup tidak pernah bisa diduga, apalagi ditebak. Hidup menyediakan alternatif bagi Ayu untuk kemudian menikah.

Maka, ketika Ayu pun kemudian menikah dengan berbagai syarat dan ketentuan, tidak lepas dari apapun yang saat itu sedang bergejolak di dalam dirinya.

Tentu sangat tidak adil ketika kita pun mencibir keputusannya untuk menikah, setelah puluhan tahun memutuskan untuk tidak menikah. Bagaimanapun, bisa jadi Ayu tidak berdaya akan dorongan dan konspirasi yang mendorong beliau untuk menikah.

Setidaknya, Ayu menikah dengan penuh kesadaran. Bukan karena paksaan. Ayu menikah bukan karena malu dituduh sebagai perawan tua. Atau muak karena selalu ditanya kapan akan menikah.

Mungkin.

Jakarta, 17 Februari 2013

22.59 Wib

M & M

[caption id="attachment_252502" align="alignleft" width="300" caption="Di unduh dari www.salihara.org"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun