Mohon tunggu...
ḂӓiἯⱥqy Ar-Rifqiy
ḂӓiἯⱥqy Ar-Rifqiy Mohon Tunggu... -

masih berusaha menjadi seorang hamba yang sebenarnya

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saat Kritikan, Diwajibkan

22 Juli 2012   07:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:44 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika dilihat tanpa angan angan, kritik itu memang suatu perkara yang mengusik ketenangan dan menimbulkan pertikaian hati. Kritikan adalah suatu ungkapan yang diungkapkan orang lain untuk diri kita. Entah itu karena kesalahan kita, ataupun karena kekurangan kita. Memang sewajarnya, sebagai manusia salah itu sudah biasa. Tapi jangan jadikan kebiasaan. Kebiasaan dalam ungkapan lain semacam kebudayaan. Bagaimana jadinya bumi ini, jika salah saja sudah dijadikan kebiasan. Apalagi jika sudah berevolusi menjadi kebudayaan. Dan budaya itu pasti akan dilestarikan. Dan jika dilestarikan, lama kelamaan, bisa saja kesalahan merambah dan semakin merangkak menuju kewajiban. Lalu, bagaimana nasib dunia ini, jika kesalahan diangkat derajat hukumnya menjadi wajib? Disinilah letak dimana akan sangat dibutuhkannya sebuah kritikan terhadap seorang yang melakukan kesalahan ataupun kekurangan dalam suatu tindakan.

Memang terkadang kritikan itu menimbulkan rasa kesal terhadap orang yang dilontari kritikan. Namun, itu adalah ungkapan pemahaman dari orang yang kurang paham atau mungkin saja malah tidak paham sama sekali mengenai apa itu yang namanya obat. Bukankah sudah sewajarnya, apabila obat membeberkan rasa yang tak nyaman dilidah dalam kata lain rasanya pahit. Tapi itu juga demi kesembuhan orang yang sakit. Jika ingin sembuh, minumlah obat itu meski pahit sekalipun.

Jika di ibaratkan, kritikan itu semisal obat pahit yang menyembuhkan. Dan orang yang mendapatkan kritikan itu bagaikan pasiennya. Jika pasien itu ingin sembuh dan segera sehat, maka ia harus mau menerima kritikan dari orang lain. Lalu melakukan introspeksi diri. Mengkritik diri sendiri, lalu merenungkan apa yang harus dilakukan setelah hari ini agar hari esok terlihat lebih cerah. Jangan hanya menginginkan pujian dari orang lain. Pujian itu hanya akan membuat sombong seseorang. Dan pada ujung ujungnya malah akan menyosotkan mental seseorang. Pujian itu kebalikan dari kritikan. Jika di atas sudah tersebutkan bahwa kritikan merupakan sebuah obat pahit yang menyembuhkan, maka pujian dapat diartikan sebagai madu yang meracuni. Rasanya manis, tapi membuat kita besar kepala dan tak mau menerima kritikan dari orang sekitar. Setelah kita terinspeksi virus bathin bernama pujian.

Entah mengapa sepertinya yang terjadi sekarang malah kebalikan dari pernyataan diatas. Kebanyakan dari kita malah mengejar pujian dari orang lain, serta mengingkari kritikan yang seharusnya kita terima untuk kita saring kembali. Dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini sangatlah di butuhkan untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Bukan masyarakat yang saling menyalahkan terhadap kelakuan orang lain dan tak mau mengoreksi diri sendiri. Jika memang masih berat untuk menerima kritikan orang lain, coba saja bagi kita untuk menerima kritikan dari diri kita sendiri. Karena kritikan dari diri kita sendiri juga akan sangat mempengaruhi pola pikir kita. Itu akan membantu kita dalam urusan pengembangan sikap. Dari yang dulunya sikap kita tak terlalu sopan menjadi sedikit lebih sopan.

Kesalahan yang paling sering kita lakukan, coba saja itu yang kita jadikan sebagai bahan kritikan. Menegur diri kita sendiri dalam bathin. Sesegera mungkin melakukan transformasi diri, secepatnya meminimalisir kesalahan , menghentikan gerak gerik nafsu yang sedang memburu jiwa. Dari berbagai alasan yang telah disebutkan di atas, inilah alasan utama yang membuat sulitnya menerima kritikan dari orang lain. Nafsu. Penyakit jiwa paling ganas yang menyerang dhohir dan bathin. Jika nafsu sudah takluk dan jinak, akan sangat mudah bagi kita untuk menerima kritikan dari orang lain. Bukan hanya itu. Meminimalisir kesalahan pun juga akan menjadi ringan jika nafsu sudah takluk. Sekali lagi, nafsulah pusat dari berbagai masalah yang telah terungkap di atas.

Kembali pada persoalan permasyarakatan. Dalam masyarakat memang terdapat berbagai macam karakteristik yang berbeda beda. Dan memiliki keberagaman sifat. Ada yang dapat menerima kritik dan saran dari orang lain. Ada pula yang agak sedikit terganggu dengan kritikan dari tetangga sekitar. Memang sudah selayaknya perbedaan itu selalu menghias dalam diri manusia. Tapi setidaknya perbedaan itu adalah suatu perbedaan yang tak bersilangan arah jalan. Sama sama berada dalam jalur jalan yang sama, namun memiliki kendaraan untuk mencapai tujuan yang berbeda beda. Inilah yang dimaksud perbedaan itu indah. Sama sama berada dalam suatu masyarakat dan cara hidup yang benar, tapi memiliki budaya yang berbeda. Bukan berbeda dalam artian lainnya. Semisal berbeda yang menimbulkan pertikaian besar. Berbeda dalam menjalani kehidupan. Yang satu sudah benar dengan mntaati peraturan yang ada dalam masyarakat. Yang satunya lagi malah asyik menghujani masyarakat dengan keegoan mereka sendiri sendiri. Inilah perbedaan yang negatif.

Dalam mengkritik seseorang dibutuhkan pula sebuah keahlian dalam bersilaturrahim dengan sopan agar tak menyinggung perasaan orang yang hendak kita kritik. Disinilah dapat diketahui bahwa adab dan perilaku itu juga sangatlah penting untuk membangun suatu masyarakat yang asri, aman, tentram, dan terpelihara sikap perilaku sosialisasinya. Kesopanan akan sangat mempengaruhi penerimaan kritik kita terhadap seorang yang menyimpang dan hendak kiita tegur. Jika kesopanan kita sangat minim, jangan salahkan orang lain jika kita menerima gamparan dari orang tersebut. Karena kesopanan itu adalah sikap yang menyentuh bathin dan perasaan.

Kebanyakan orang biasanya cenderung akan mengekpresikan wajah yang sedikit merengut ketika menerima kritikan dari orang lain. Meskipun telah ditutupinya dengan senyuman. Karena, orang juga adalah manusia. Kebanyakan manusia biasanya cenderung merasa benar dan tak suka jika disalahkan ataupun dikritik. Memang itu bawaan manusia sejak kecil. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika kita menyikapinya dengan terus memanjakan sikap tersebut, tak lantas jika dimasa tua kita akan menjadi seorang yang keras kepala, sombong, tak mau menerima kritikan dari orang lain, dan menghindari nasehat nasehat yang telah diterimanya.

Berbeda dengan kebalikannya. Apabila kita menyikapinya dengan terus mencegah dan meminimalisir sikap tersebut, dimasa tua kita akan dapat bersosialisasi dengan baik pada masyarakat. Sosialisasi yang baik terhadap masyarakat akan memudahkan kita mengritik ataupun memberikan nasehat kepada orang lain, dan juga diri kita sendiri. Diri kita sendiri juga perlu kritikan dari kita sendiri. Kurang apa kita ini? Atau memikirkan kesalahan apa yang pernah kita lakukan dimasa lalu, lalu berusaha agar tak mengulanginya lagi dimasa kini dan masa depan. Dengan demikian, kehidupan akan terarah pada norma norma yang Teologis, Humanis, dan Ekologis. Insyaallah...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun