Beberapa minggu terakhir, pemandangan Kota Jogja dipenuhi dengan alat peraga kampanye calon walikota dan wakil walikota Jogja periode 2011-2016. Baliho, spanduk, billboard, hingga sticker kecil bergambar foto pasangan calon walikota dan wakil walikota tersebar di penjuru kota ini. Tentu saja, kampanye sebagai bentuk komunikasi massa yang salah satunya dalam bentuk visual selalu mengandung pesan-pesan simbolik. Simbol, mengacu pada teori semiotika Charles Sanders Peirce (1839-1914), adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbitrer, hasil konvensi suatu kelompok masyarakat.
Tulisan ini tidak hendak membahas tentang teori semiotika yang memang sangat luas (lebih jelasnya baca teori Peirce, Saussure, Barthes, atau Umberto Eco). Tulisan singkat ini hanya ingin mencoba membaca pesan-pesan simbolik dari kampanye visual (melalui alat peraga kampanye) dan Kirab Budaya yang diselenggarakan pada tanggal 8 September 20011 lalu. Tentu saja, pembacaan tersebut sedikit banyak diilhami dari teori-teori yang ada, tetapi tulisan ini memang sengaja tak ingin menjadi “katalog teori” layaknya tulisan-tulisan “intelek” pada umumnya.
Pemilukada Kota Jogja yang akan dilaksanakan pada tanggal 25 September 2011 nanti diikuti tiga pasang kontestan, berikut sekaligus pembacaan terhadap pesan-pesan simbolinya:
1. Muhammad Zuhrif Hudaya, S.T. dan Drs. Aulia Reza Bastian, M.Hum.
Pasangan dengan visi “Kampung Jogja kampung sejahtera, yaitu kampung cerdas yang mampu menjadi sekolah bagi individu dan keluarga, memiliki daya tarik wisata, kondusif terhadap pertumbuhan industri rumah tangga, dengan lingkungan hijau yang senantiasa terjaga ” ini memang sangat gencar menyuarakan jargon “Mbangun Kampung”. Pesan simbolik yang pertama tertangkap dari jargon tersebut adalah penggunaan kata “mbangun” dan bukan “membangun”. Jelas, dapat dipahami bahwa dibalik itu mereka ingin memposisikan jargon tersebut agar lebih dekat dengan masyarakat Jogja yang notabene masyarakat (yang berbahasa) Jawa. Dalam psikologi konsumen, strategi budaya seperti ini dipercaya dapat memperkecil jarak psikologis.
Yang paling menarik dari pasangan ini, ditinjau dari alat peraga kampanye dan pilihan seni pertunjukan pada Kirab Budaya, adalah upayanya “mendekonstruksi” citra kelompok terbesar di baliknya, yaitu PKS. Partai tersebut selama ini dikenal sebagai partainya kelompok “muslim taat” yang cenderung eksklusif. Secara visual, cirikhas yang terbentuk adalah kerudung berukuran besar (bagi perempuan) dan celana di atas mata kaki (bagi laki-laki). Citra ini oleh ZULIA (akronim dari pasangan tersebut) coba dibalik dengan citra “anak muda” dan nasionalis.
Hal tersebut nampak pada foto mereka pada poster-poster kampanye. Mereka mengenakan kaos oblong lengan pendek berwarna merah dan putih bertuliskan “the Dream Catcher”. Dapat dikatakan bahwa mereka mencoba menanggalkan simbol-simbol Islam guna menghapus citra kelompok ekslkusif. Hal yang sama juga mereka lakukan pada Kirab Budaya. Kesenian yang mereka tonjolkan adalah marching band yang pesertanya adalah anak-anak muda yang good looking, di mana mayoritas perempuannya tidak mengenakan kerudung, bahkan dengan gerakan-gerakan yang cenderung centil. Sekalipun di barisan belakangnya adalah perempuan-perempuan berkerudung besar, tetapi jelas mereka kalah dominan.
Tentang jargon “Mbangun Kampung”, ZULIA menjadi satu-satunya melakukan awareness branding berdasar representasi dari program unggulannya. Mereka tidak larut dalam persaingan dua pasangan lain yang berebut “warisan kesuksesan” walikota sebelumnya serta isu pro penetapan (sekalipun ada juga alat peraga kampanye bertuliskan “pro penetapan” tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak). Sayangnya, jargon tersebut sama sekali tidak pernah divisualisasikan dalam alat-alat peraga kampanyenya. Entah karena tidak adanya desainer komunikasi visual di belakang mereka ataukah karena pertimbangan-pertimbangan pragmatis “yang penting pasang foto”.
2.Ahmad Hanafi Rais, S.IP., M.PP. dan Ir. Tri Harjun Ismaji, M.Sc.
Pasangan yang populer dengan akronim FITRI ini nampaknya menjadi pasangan yang paling gencar memasang alat peraga kampanye, bahkan hingga pasar tiban Ramadhan Kauman pun tak luput dari branding FITRI. Tetapi yang paling menarik secara simbolik justru pada saat Kirab Budaya. Pasangan nomor urut dua ini (kalau tidak salah) menampilkan paling banyak kelompok kesenian, mulai dari Barisan prajurit Kraton, Hadrah, Barongsai, Jathilan Gedruk, Kesenian thek-thek, hingga selebritis lokal Jogja yang tergabung dalam Obrolan Angkring dan Pangkur Jenggleng.
Seketika yang tertangkap dalam arak-arakan tersebut adalah bahwa ada kelompok besar yang mendukung FITRI. Jumlah kelompok kesenian yang banyak dan bermacam-macam (seperti Hadrah yang disusul Barongsai) membawa pesan simbolik bahwa FITRI didukung berbagai macam kalangan dan siap menjaga kebermacaman (multikulturalitas) Kota Jogja. Sekaligus, juga menjadi representasi “kota kreatif” yang merupakan visi mereka. Sedangkan visi lengkapnya adalah “Membangun Yogyakarta sebagai kota kreatif untuk mengembangkan mutu pendidikan, pariwisata, dan kesejahteraan warga yang didukung oleh penataan dan pembangunan kota dan kampung yang semakin nyaman huni”.
Sayang, dalam alat peraga kampanyenya hampir-hampir tak ditemukan pesan visual simbolik apapun. Mengenakan kemeja batik dan peci adalah hal yang sangat lumrah di Indonesia, sehingga tidak lagi mempunyai makna tertentu kecuali sebagai pembeda dari calon lain. Secara verbal, kata FITRI yang dipilih untuk melakukan awareness branding, sengaja atau tidak, diuntungkan dengan momen Ramadhan dan Idul Fitri. Kata tersebut hampir selalu muncul dalam spanduk-spanduk mereka yang sebenarnya berisi pesan moral tetapi dengan pemanfaatan kata FITRI. Menariknya, hal tersebut membuat pasangan lain enggan menggunakan kata Idul Fitri untuk mengucapkan selamat pada hari raya umat Islam tersebut.
Lagi-lagi, visi misi dan program kerja mereka tidak pernah divisualisasikan dalam alat peraga kampanyenya. Bahkan, secara verbal pun FITRI hampir tak pernah mensosialisasikan visi mereka. Yang banyak muncul hanyalah klaim sebagai penerus walikota sebelumnya, Herry Zudianto, dan pernyataan pro penetapan. Pada akhirnya, seolah FITRI sibuk bertarung klaim sebagai penerus Herry dan adu endorser keluarga Kraton dengan pasangan nomor tiga.
3. Drs. H Haryadi Suyuti dan Imam Priyono D Putranto, S.E., M.Si.
Pasangan incumbent ini mengusung visi “Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai kota Pendidikan berkualitas dan Inklusif, Pariwisata berbasis Budaya, dan Pusat Pelayanan Jasa, yang berwawasan lingkungan dan ekonomi kerakyatan”. Secara simbolik dalam alat peraga kampanyenya, HATI (akronim dari Haryadi Suyuti) dapat ditangkap menampilkan diri sebagai yang paling “njawani”. Mengenakan pakaian Jawa (surjan) dengan blangkon sebagai penutup kepala menjadi unsur visual yang cukup untuk mendukung citra tersebut.
Dapat diduga, HATI mengangkat pesan simbolik demikian karena pasangan ini didukung oleh mayoritas kerabat Kraton seperti GBPH Prabukusuma, GKR Pembayun, dan nama-nama lainnya. Maka tak mengherankan nama-nama tersebut dieksploitasi menjadi endorser dalam alat peraga kampanyenya. Bahkan, GBPH Prabukusuma menjadi salah satu juru kampanyenya. Lebih lanjut, hal tersebut dapat pula menjadi pesan bahwa pasangan ini adalah yang paling pro penetapan.
Seperti disebut di atas, pasangan ini nampak masih sibuk terlibat pertempuran klaim dengan pasangan FITRI. Haryadi yang saat ini sebagai wakil dari Herry jelas merasa berhak mengklaim sebagai penerus Herry. Akan tetapi nampaknya ia “keduluan” FITRI yang satu partai dengan Herry dalam mengumbar klaim tersebut. Hal inilah yang menyebabkan akhirnya persaingan klaim tersebut makin hari makin memanas.
Jika melihat Kirab Budaya, pasangan ini nampak yang paling sepi dan dapat dikatakan tidak ada simbol-simbol yang mentransfer makna khusus. Mungkin hal ini berdasar pertimbangan bahwa Kirab Budaya tidak terlalu punya signifikansi atas perolehan suara.
Demikian “komentar” (barangkali kata analisis belum layak) singkat saya atas upaya ketiga pasang calon pemimpin Kota Jogja dalam meraih pendukung melalui komunikasi massa yang sarat pesan simbolik. Satu hal yang saya sayangkan, dengan perspektif desain komunikasi visual, saya belum menemukan alat peraga kampanye yang baik. Dalam artian, media visual yang mampu merepresentasikan visi misi atau program unggulan mereka.
Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian komunikasi visual.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H