Mohon tunggu...
Inamul Haqqi Hasan
Inamul Haqqi Hasan Mohon Tunggu... Desainer - Visual Designer

Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian budaya dan seni. IG haqqihasan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Agamawan dan Seniman, Li Kulli Maqal Maqam

7 September 2011   04:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:10 1370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

oleh : Inamul Haqqi Hasan

Suatu hari kami (saya bersama teman-teman) melakukan screening film dokumenter kami di sebuah masjid. Film itu bertema tentang keberagaman suku dan agama di Pemali, Bangka. Setelah selesai film, sengaja kami mengajak para penonton, kebanyakan mereka yang aktif jamaah di masjid itu, untuk berdiskusi. Pertanyaan yang cukup “berat” muncul, salah satu penonton menanyakan (mungkin dibalik pertanyaan itu terdapat keberatan) tentang pernyataan bahwa bekerja di Klenteng itu halal bagi seorang Muslim yang dilontarkan oleh salah satu subjek dalam film dokumenter itu.

Apa yang ingin saya sampaikan dari cerita di atas? Itulah inti tulisan ini. Meloncat ke kancah nasional, film Cin(t)a karya Sammaria Simajuntak dan Tanda Tanya karya Hanung Bramantyo pun mendapat respon serupa. Film-film itu banyak dihujat telah mengajarkan kesesatan, atau sering juga mendapat tuduhan merusak aqidah. Tulisan ini tidak dalam posisi membela si pembuat film (walaupun nurani saya berkepentingan demikian), dan juga tidak untuk membela para “penjaga agama” yang menghujatnya.

Tulisan ini, sesuai judulnya, hanya ingin memaparkan bahwa ada perbedaan pola pikir dan pola aksi antara agamawan (dalam arti mereka yang spesialisasinya ilmu-ilmu agama dan mereka yang berkecimpung dalam dakwah -dalam arti sempit- agama) dengan mereka yang disebut seniman (sosok yang sebenarnya masih misterius definisinya, semisterius definisi kata seni. Tetapi mari sementara kita pakai kata seniman untuk menyebut mereka yang menghasilkan karya seni). Dengan memahami perbedaan ini, barangkali kita bisa lebih cerdas dan bijaksana dalam menyikapi suatu karya seni.

Prof. Quraish Shihab dalam tulisannya “Dampak Acara-Acara Televisi Kita”, mengutip pernyataan seseorang yang beliau sebut dengan ‘teman saya’ sebagai berikut; “Pengkhotbah menggunakan segala cara untuk mengobati patologi masyarakat dan mengantar mereka menuju keluhuran budi pekerti dan kesucian jiwa, sedangkan seniman menggambarkan apa adanya baik atau buruk dan mempersilakan Anda melihat dan menilai sisi mana yang Anda inginkan untuk Anda. Seniman bagaikan penjelajah, dia mencatat apa saja yang ditemuinya. Ketelitian dan kejujuran menuntutnya agar semua itu dihidangkan sebagaimana adanya”. Secara garis besar, saya sependapat dengan pernyataan di atas. Dan saya sangat salut pada kejernihan dan keseimbangan berpikir sang pakar tafsir Al-Qur’an tersebut (mengingat amat susah menemukan agamawan yang berpemikiran seimbang di negeri ini).

Dalam bahasa yang lebih sederhana, perbedaan agamawan atau pengkhotbah dengan seniman adalah bahwa agamawan ‘metode kerja’nya menyampaikan kebenaran dan kebaikan serta mencegah dan mengkritisi kemungkaran secara langsung. Sementara seniman, sama halnya berkepentingan menyampaikan sesuatu, akan tetapi dengan cara yang tidak mendikte ‘konsumen’nya pada satu penilaian, melainkan hanya memberikan stimulan berpikir. Dalam kasus judi misalnya, seorang pengkhotbah tentu akan menegaskan bahwa judi itu haram dan harus dihapuskan dari peradaban manusia, tetapi seorang seniman bisa saja justru menyuguhkan gambaran seorang penjudi yang sukses, dengan bahasa-bahasa simbolik di baliknya yang sebenarnya mengkritik perjudian.

Ketika kita kembalikan ke konteks film kami di atas, dasar persoalannya adalah para penonton itu berekspektasi bahwa film kami (sebagai sebuah karya seni) adalah sebuah materi khotbah. Seorang pengkhotbah yang menyatakan bahwa bekerja di rumah ibadah non-Muslim itu halal bagi seorang Muslim, sudah pada tempatnya jika ia dikritik telah melakukan kesalahan oleh mereka yang tidak sependapat. Tetapi, jika yang bicara demikian adalah seorang subjek dalam sebuah film dokumenter, mesti dipahami bahwa film itu tidak selalu hendak mendukung pendapat si subjek, melainkan memaparkan bahwa ada yang berpendapat demikian. Mesti dilihat siapa subjek itu, bagaimana latar pendidikan (agama)nya.

Dengan demikian, harus saya katakan bahwa rasanya tidak pada tempatnya ktitik dan hujatan kelompok agamawan yang ditujukan pada film Cin(t)a dan Tanda Tanya. Ketika dalam film Tanda Tanya ada adegan tokoh utama membaca novel yang menyatakan “jalan berbeda-beda tetapi menuju satu tujuan” yang dipahami “semua agama tujuannya sama saja”, bukankah tidak mesti dipahami bahwa novel itu mengajarkan kebenaran? Bukankah mestinya cukup dipahami bahwa novel dan pemikiran demikian itu memang ada? Atau ketika tokoh utama diperankan sebagai seorang yang murtad dari Islam, terlalu dangkal rasanya untuk mengatakan film tersebut mengajak umat Islam untuk murtad.

Masih banyak karya-karya seni, dengan berbagai bentuknya, yang mengalami perlakuan tidak pada tempatnya oleh kelompok agamawan. Sekali lagi, saya tidak mengatakan bahwa seniman selalu benar. Barangkali dapat dikatakan bahwa karya seni itu selalu ‘benar’, tetapi bisa jadi tidak pada tempatnya juga. Ada pepatah Arab yang menarik, li kulli maqam maqal wa li kulli maqal maqam, untuk setiap tempat ada ucapan yang sesuai dan untuk setiap ucapan ada tempat yang sesuai. Menurut saya, kata “ucapan” dalam pepatah itu dapat disubtitusi dengan “karya seni”.

Seorang seniman bebas membuat karya seni apapun, untuk menyampaikan ide apapun, tetapi semua ada tempat yang sesuai (berarti ada yang tidak sesuai). Demikian pula, tidak pada tempatnya jika suatu karya seni diposisikan sebagai materi khotbah. Karya seni adalah karya seni, jika ia tidak pada tempatnya, yang harus dikritik adalah penempatannya yang salah. Bukan berarti karya seni tidak boleh dikritik, sekali lagi, semua ada tempatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun