Mohon tunggu...
Inamul Haqqi Hasan
Inamul Haqqi Hasan Mohon Tunggu... Desainer - Visual Designer

Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian budaya dan seni. IG haqqihasan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menyoal Ilusi Spanduk "Coblos 1 Saja"

16 September 2011   03:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:55 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir, ada spanduk rentang yang sebenarnya secara estetika visual biasa-biasa saja, tapi bagi saya sungguh merangsang untuk membuat suatu tulisan tentangnya. Spanduk tersebut masih terkait Pemilukada Kota Jogja yang akan dihelat pada 25 September nanti, tapi (seolah-olah) bukan alat peraga kampanye dari salah satu paslon (pasangan calon). Bunyi spanduk itu begini, “Ingat, 25 September 2011, Coblos 1 saja, Coblos 2 atau 3 sekaligus ORA SAH!”. Lalu pada bagian kiri terdapat sebuah logo yang dibawahnya tertulis “Masyarakat Cerdas tur Cetho” Dari bunyi verbal di atas mungkin sisi menariknya belum begitu nampak. Oleh karenanya akan mulai saya uraikan dengan pendekatan semantik dan hirarki visual, serta tentang logo yang digunakan. Persoalan Semantik Semantik, dalam Kamus Linguistik yang ditulis oleh Kridalaksana berarti bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara. Seperti halnya semiotik, semantik juga mempelajari tentang hubungan tanda dan makna. Akan tetapi, semantik hanya bekerja pada ranah linguistik, artinya hanya menyangkut komunikasi verbal. Dari spanduk di atas, yang menjadi persoalan semantis adalah kalimat “Coblos 1 saja”. Secara tekstual, memang kalimat suruhan ini tidak bermasalah, informasinya cukup jelas. Tetapi, karena kalimat sebelumnya adalah “Ingat, 25 September 2011” maka spanduk ini harus dilihat dalam konteks pemilukada Jogja. Di sinilah muncul ambiguitas atau ketaksaan. Hal ini unik, karena dalam studi bahasa umumnya kalimat yang secara tekstual ambigu dapat diatasi dengan melihat konteksnya, tapi ini justru sebaliknya. Ambiguitas tersebut, jika dilihat dalam konteks pemilukada, adalah adanya dua kemungkinan makna. Pertama kalimat tersebut bermakna “Coblos 1 paslon saja!”, kedua dapat bermakna “Coblos paslon nomor urut 1 saja!”.  Namun, persoalan semantis ini belumlah krusial, karena kemunculan kalimat ambigu sangat jamak di lingkungan kita. Ambiguitas dapat muncul karena ketidakmengertian (ketidak sengajaan) atau memang disengaja untuk memunculkan persepsi yang salah. Persoalan Hirarki Visual Hirarki visual (sering disingkat VH -visual hierarchy-) adalah salah satu teori dalam ilmu desain komunikasi visual. Teori ini mempelajari tentang bagaimana mengkomposisikan elemen-elemen desain agar dapat menuntun pengamat mencerna simbol-simbol visual atau verbal yang ada secara berurutan sesuai harapan sang komunikator (desainer). Secara sederhana aplikasinya dapat kita lihat dalam tata letak koran di mana judul headline akan terbaca pertama kali karena ukurannya yang paling besar. Persoalan hirarki visual dalam spanduk ini terletak pada kalimat “Coblos 2 atau 3 sekaligus, ora sah!”. Jika kita lihat spanduk tersebut, ukuran kata “sekaligus” dibuat lebih kecil dari kata-kata lainnya. Kemudian kata “coblos”, angka “2” dan “3”, serta kata “ORA SAH!” dicetak tebal (bold). Dan terakhir, kata “ORA SAH!” dicetak dengan uppercase (huruf kapital semua) sehingga memunculkan efek mendominasi atau menjadi pusat penekanan. Sehingga, secara hirarki visual, pesan yang tertangkap pertama kali menjadi “Coblos 2 atau 3, ORA SAH!”. Tidak salah jika kita menduga bahwa strategi hirarki visual sengaja digunakan untuk memunculkan makna baru, yaitu pesan bahwa mencoblos paslon nomor urut 2 atau 3 adalah “ora sah”. Nah, hal ini diperparah dengan penggunaan kata “ora sah”. Ketika kalimat-kalimat sebelumnya menggunakan Bahasa Indonesia, tiba-tiba ditutup dengan sebuah frase Bahasa Jawa. Persoalannya, kata “ora sah” dalam Bahasa Jawa juga memungkinkan makna ganda, yaitu “tidak sah/legitimate” dan “tidak usah/perlu”. Dari sini, memungkinkan (dan barangkali memang itu tujuannya)muncul pesan “Coblos paslon nomor urut 2 atau 3, tidak usah!”. Persoalan Logo Di atas, saya menyandingkan logo yang ada dalam spanduk dengan maskot Pemilikada 2011 resmi dari KPUD Kota Jogja. Maskot tersebut diberi nama MASKARTO yang merupakan akronim dari Milih Amrih Saening Kutha Ngayogyakarto (memilih untuk kebaikan kota Jogja). Bentuknya adalah personifikasi kotak suara mengenakan baju lurik coklat, kain batik, dan blangkon. Sementara, dalam spanduk, logo yang digunakan hampir menyerupai Maskarto, hanya saja berbeda bentuk kepala (Maskarto berkepala belah ketupat sedangkan logo tersebut berkepala bundar). Di bawah logo, tertulis “Masyarakat Cerdas tur Cetho”. Secara makna kita sulit memahami apa maksud kombinasi kata cerdas dan cetho (jelas/pasti), apalagi kata penghubungnya adalah “tur” (tapi). Penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa yang campur aduk dan terdengar aneh, karena tidak memunculkan kesan unik atau manfaat estetik apapun. Kita baru bisa mengerti ketika kita sadar bahwa kalimat tersebut dibuat demikian agar dapat disingkat menjadi MASKARTO. Maka, tidak salah jika kita menganggap penulisan “Masyarakat Cerdas tur Cetho” di bawah logo yang menyerupai maskot Maskarto adalah upaya agar masyarakat mengira spanduk tersebut adalah spanduk dari KPUD Kota Jogja. Kesimpulan Ilusi, dalam KBBI didefinisikan sebagai pengamatan yang tidak sesuai dengan pengindraan. Dalam psikologi persepsi, ilusi dapat berarti interpretasi yang salah dari suatu rangsangan pada panca indera. Sedangkan salah satu faktor penyebab ilusi adalah kondisi rangsang terlalu kompleks: bila rangsang yang diamati terlalu kompleks, maka rangsang tersebut dapat menutup-nutupi atau menyamarkan fakta-fakta objektif (Nindyah Rengganis dalam Materi Psikologi Persepsi) Dari persoalan semantik, hirarki visual, dan logo/maskot yang telas saya urai di atas, saya berkesimpulan bahwa spanduk “Coblos 1 saja” ini adalah sebuah upaya memunculkan ilusi. Ilusi pertama adalah ilusi makna pesan yang dapat ditangkap berbunyi “Coblos paslon nomor urut 1 saja, nyoblos paslon nomor urut 2 atau 3: tidak perlu!”. Ilusi kedua adalah ilusi visual terkait logo yang menyerupai maskot Pemilukada Jogja 2011 dan nama Masyarakat Cerdas tur Cetho yang dapat disingkat menjadi Maskarto sehingga dapat memunculkan persepsi bahwa spanduk tersebut memuat pesan dari KPUD Kota Jogja. Lalu sebenarnya siapa di balik spanduk tersebut? (ini bukan “ilusi” makna menyangkut foto spanduk yang saya ambil yang dibaliknya adalah spanduk salah satu paslon). Siapakah mereka yang menamai dirinya sebagai Masyarakat Cerdas tur Cetho? Saya tidak ingin menuduh, tetapi bukan berarti tidak menduga. Siapapun, yang pasti, saya berharap mereka segera menurunkan spanduk yang “cerdas tapi tidak mencerdaskan” itu. Bukankah mereka menyebut dirinya “cerdas dan cetho”, lalu kenapa menyampaikan pesan yang tidak “cetho”? Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian komunikasi visual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun