Mohon tunggu...
Inamul Haqqi Hasan
Inamul Haqqi Hasan Mohon Tunggu... Desainer - Visual Designer

Inamul Haqqi Hasan, peminat kajian budaya dan seni. IG haqqihasan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Chef (2014): Dualisme Pekerja Seni

10 September 2014   19:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:05 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1410325518895967185

Film ini memang tak pernah tayang di bioskop di Indonesia, baik grup 21 maupun Blitz Megaplex. Film yang rilis bulan Maret lalu ini adalah film “indie”-nya Jon Favreau di mana ia menjadi penulis, produser, sutradara, sekaligus pemeran utamanya. Judul film “komedi” (entah kenapa ia dianggap ber-genre komedi, padahal sebenarnya lebih ke foodie-drama) Amerika ini memang mirip denganThe Chef, film Prancis dengan judul asli Le Chef, yang rilis tahun 2012, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan.

Mengapa kata “indie” perlu diberi tanda kutip? Sebagai sutradara Iron Man 1-2 serta eksekutif produser The Avenger dan Iron Man 3, tentu Jon Favreau tak akan jauh-jauh dari “resep” Hollywood, barangkali kata indie di sini cukup merujuk pada aspek finansial. Menariknya, film ini semacam reuni mini The Avengerdengan terlibatnya Robert Downey Jr dan Scarlett Johanssen sebagai pemain. Oke, mari kita masuk dalam narasi film.

Chef Carl Casper (Jon Favreau) adalah seorang chef professional di sebuah restoran di Los Angeles milik Riva (Dustin Hoffman). Film ini dibuka dengan kesibukan Carl dan timnya menyiapkan makanan karena restoran itu akan kedatangan seorang kritikus kuliner tersohor di LA, yaitu Ramsey (Oliver Platt). Menjelang kedatangan Ramsey, Riva memaksa Carl untuk mengganti menu yang akan disajikan dengan penekanan bahwa ialah penguasa di restoran itu. Carl menginginkan eksperimentasi menu baru sedangkan Riva ingin mempertahankan menu lama karena itu laku. Ya, tipikal perbedaan pandangan antara pekerja seni dengan client/atasan lah.

Akhirnya Ramsey sang kritikus menulis review di blognya yang juga termasyhur. Diawali dengan pujian pada rekam jejak Carl, tetapi pada akhirnya menunjukkan kekecewaannya pada masakan sang chef, ia hanya memberikan rating 2 untuk restoran Riva. Di sinilah mulai masuk trend film saat ini: social media. Review yang ditulis Ramsey segera menyebar lewat akun Twitternya yang memiliki 120-an ribu follower. Teman-teman Carl mengatakan agar ia tak perlu ambil pusing dengan topik hangat di Twitter itu, tapi Carl bahkan tak punya akun Twitter dan tak tau bagaimana cara kerjanya.

Carl meminta anaknya, Percy (Emjay Anthony) membuatkan akun Twitter. Ia lalu men-twit Ramsey dengan makian, mengira bahwa itu semacam SMS yang hanya akan dibaca oleh orang yang dituju. Alih-alih kapok karena semakin manjadi perbincangan, Carl justru semakin semangat memaki-maki Ramsey dan menantangnya untuk datang lagi ke restoran Riva. Carl berjuang menyiapkan menu baru untuk menjadi senjata melawan Ramsey. Namun, Riva sang bos menolak keras rencana itu dan memberinya dua pilihan: tetap pada menu lama atau keluar dari restoran itu. Tentu ia memilih keluar.

Masih dalah suasana emosionalnya, Carl ngamuk di depan Ramsey. Peristiwa itu diabadikan pengunjung restoran dalam video yang diunggah ke internet. Lagi-lagi, Carl menjadi bahan gunjingan dalam dunia serba viral. Carl kehilangan pekerjaannya sekaligus kesulitan mencari kerja di tempat lain karena kelakuannya telah diketahui semua orang. Oke, di sinilah konfliknya, selanjutnya adalah resolusi, mengikuti resep drama tiga babak tentu saja.

Carl akhirnya berjualan street food dengan sebuah food truck. Jajanan bikinannya laku keras karena enak dan dibantu anaknya, Percy, mempromosikan via Twitter. Tentu saja ia tidak berjualan karya kuliner yang ideal nan rumit sebagaimana keahliannya sebagai seorang chef, ia berjualan makanan yang laku, hanya saja ia buat lebih enak. Happy ending film ini tak jauh-jauh dari kesuksesan usaha barunya itu.

Barangkali apa yang dilakukan Carl bisa dibaca sebagai ekspresi idealisme seorang pekerja seni, ia menolak tunduk pada boss-nya yang mengekang kreativitas. Namun, jangan lupa bahwa pada akhirnya ia mengikuti pola “apa yang laku”, atau katakanlah, selera pasar. Di sinilah letak dualisme yang seringkali diidap seorang pekerja seni: di satu sisi resisten pada tekanan perspektif bisnis yang tak terlalu memberi ruang pada eksperimentasi, tetapi di sisi lain dengan kesadarannya sendiri tetap berjalan pada pola marketable.

Apakah dualisme di atas salah? Tentu tidak. Memangnya di dunia ini siapa yang mau secara sukarela membayar orang atas karya-karya yang 100% mengikuti “idealisme”-nya? Barangkali begitu jugalah Jon Favreau dalam pembuatan film "indie" ini: ia memiliki kebebasan penuh atas film karena ia berposisi sebagai penulis, sutradara, pemeran utama, sekaligus produser, tetapi ia tak jauh-jauh dari "film yang disukai penonton".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun