Tentu dia lebih tua dariku tapi lebih tua ayahku, lalu aku panggil apa dia? Om? Maestro? Puitis?
Tapi yang pasti, 4 hari ini aku temui dia, di sebuah dunia bernama maya.
Nah, aku ketik > nama > maunya apa?
Seperti yang ku sampaikan sebelumnya, aku terpengaruh melihat karyanya. Sedari awal ku pasang niat “hormat” karena aku juga bukan siapa-siapa.
Empat hari ini aku tidak seperti aku. Ku sisihkan dulu suara lagu-lagu Barry Gib dan adik-adiknya, ku tepikan dulu petikan senar dari jari-jari Jubing, dan kutinggal sejenak tuts akordeon musik melayu karena aku tak bisa lama-lama berpisah dengannya, tapi tak apalah cuma 4 hari.
Buka Pintu Kiri, aku melihat dari luar pintuku sebelah kanan, tetapi ku buka dengan tangan kiri karena aku kidal.
Satu persatu ku buka, karya maha agungnya. Apa itu? Simbol? Gambar? Foto? Aksara jawa? Prasasti? Kuda? Pakubuwono X? Harga Rumah yang muncul tuan berkepala plontos? Manipol Usdek? Lilis Suryani? Pusing. Tapi aku tak pusing saat memahami “kapital” yang tidak hadir dalam judul. Aku bersamanya, setidaknya aku menyetujuinya di kala bumi nusantara sedang diserang kerajaan sombong bertubi-tubi.
Empat hari ini aku membaca karya Malna. Aku semacam bergabung ke dalam pikirannya. Terima kasih mengembalikan kenangan puisiku. Sepertinya aku jatuh cinta.
Tapi kata Titan, Hati-hati dengan cinta, karena jatuh cinta bisa buat orang-orang celaka.
Tembung, 6 Mei 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H