Mohon tunggu...
muhammad haqi amrulloh
muhammad haqi amrulloh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Hobi saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ketika Kritik Publik Tidak Mampu Menembus Nepotisme

8 Oktober 2024   22:15 Diperbarui: 8 Oktober 2024   22:15 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ketika Kritik Publik Tidak Mampu Menembus Nepotisme

Dalam era modern yang serba digital, di mana informasi tersebar dengan cepat dan akses terhadap media sosial terbuka lebar, kritik publik telah menjadi instrumen utama dalam mengekspresikan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan kebijakan publik. Suara-suara masyarakat yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, praktik korupsi, dan ketidakadilan sosial kini dapat dengan mudah disuarakan melalui berbagai platform media sosial. Namun, salah satu tantangan terbesar yang terus menghantui demokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah nepotisme. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun kritik publik terus bergema, pengaruh dan kekuatan nepotisme masih sangat kuat dan sering kali sulit ditembus.

Nepotisme, dalam pengertian umum, adalah tindakan memberikan posisi, kesempatan, atau keuntungan tertentu kepada anggota keluarga atau teman dekat, biasanya di lingkungan kerja atau pemerintahan, tanpa memperhitungkan kompetensi dan kelayakan mereka. Praktik ini sudah ada sejak zaman kuno, namun dalam konteks negara modern, nepotisme kerap dikaitkan dengan politik dan administrasi negara.

Di Indonesia, kasus-kasus nepotisme sudah bukan hal baru. Sejak masa Orde Baru hingga era reformasi, nepotisme selalu menjadi salah satu sorotan utama dalam perdebatan publik. Pada masa Orde Baru, nepotisme berkembang pesat sebagai bagian dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), di mana jaringan kekuasaan lebih banyak dikuasai oleh keluarga dekat penguasa atau elite politik. Setelah reformasi, harapan publik akan tatanan politik yang lebih bersih dan berkeadilan mulai bangkit, namun sayangnya, praktik nepotisme tetap bertahan dan seringkali tidak tersentuh oleh kritik publik.


Kritik publik adalah salah satu elemen penting dalam demokrasi. Di era digital ini, media sosial dan platform daring lainnya telah memberi ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat mereka. Baik dalam bentuk tulisan, video, maupun kampanye daring, kritik-kritik terhadap pemerintah dan pejabat negara seringkali menjadi sorotan utama di media sosial. Banyak kasus besar yang terungkap karena tekanan publik melalui kritik di media massa dan media sosial.

Namun, efektivitas kritik publik dalam menumbangkan sistem yang korup dan nepotistik sering kali dipertanyakan. Meskipun kritik dari masyarakat terus mengalir, dampaknya terhadap perubahan nyata sering kali tidak signifikan, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan besar seperti nepotisme yang telah mengakar dalam struktur pemerintahan dan lembaga negara.

Mengapa Kritik Publik Tidak Mampu Menembus Nepotisme?

1. Kekuatan Jaringan Keluarga dan Oligarki
Nepotisme sering kali tumbuh subur dalam lingkaran oligarki, di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikuasai oleh segelintir keluarga atau kelompok elit. Di negara-negara yang demokratis sekalipun, kekuatan oligarki ini sangat sulit digoyahkan. Keluarga-keluarga yang telah lama berkuasa memiliki kendali yang kuat atas berbagai sektor, mulai dari ekonomi hingga politik. Mereka memiliki jaringan yang luas dan berpengaruh, yang memungkinkan praktik nepotisme tetap berlangsung meski ada tekanan dari kritik publik.

Jaringan ini sering kali tersembunyi di balik perusahaan besar, lembaga keuangan, atau bahkan yayasan amal, yang secara langsung atau tidak langsung dikendalikan oleh keluarga-keluarga tersebut. Ketika kritik publik menyoroti nepotisme, jaringan kekuasaan ini mampu melindungi anggotanya dari dampak kritik tersebut, baik melalui pengaruh politik, kontrol media, maupun kekuatan finansial.

2. Kurangnya Mekanisme Penegakan Hukum yang Efektif
 Salah satu alasan utama mengapa kritik publik tidak mampu menembus nepotisme adalah kurangnya penegakan hukum yang efektif. Meski kritik terhadap nepotisme sudah kerap disuarakan, jika tidak ada lembaga hukum yang berani atau mampu menindaklanjuti, kritik tersebut akan berakhir sia-sia. Di banyak negara, termasuk Indonesia, lembaga-lembaga penegak hukum sering kali terpengaruh oleh kekuatan politik dan ekonomi yang besar, termasuk jaringan nepotisme. Hal ini menyebabkan proses hukum terhadap pelaku nepotisme berjalan lambat atau bahkan mandek sama sekali.

Lebih jauh, kekuatan keluarga atau jaringan oligarki yang terlibat dalam nepotisme sering kali memiliki pengaruh besar terhadap lembaga-lembaga penegak hukum. Di sini, konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang sering terjadi, sehingga kritik publik yang disuarakan tidak mampu diterjemahkan menjadi tindakan hukum yang konkret.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun