Mohon tunggu...
Riana Kanthi Hapsari
Riana Kanthi Hapsari Mohon Tunggu... Administrasi - Food Tech Alumni :)

Food Tech Alumni :) https://hapsaririana.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Membuang Makanan untuk Kesehatan Jangka Panjang (Studi Antioksidan)

23 Desember 2014   06:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebanyakan orang tentunya akan merasa segan untuk membuang makanan, bahkan jika makanan tersebut sudah mulai menampakkan kerusakan. Hal ini sangat tidak disarankan mengingat efek jangka panjangnya terhadap kesehatan. Beberapa contoh kasus dapat dipaparkan tetap dikonsumsi makanan yang dimasak hari sebelumnya meskipun makanan telah menunjukkan kerusakan seperti rasa yang berubah asam, tekstur yang mengental, berbusa dan sebagainya. Alasan yang dikemukakan tentu saja adalah sayang bila makanan sebanyak itu dibuang begitu saja.

Perubahan penampakan makanan tentu bukan dengan sendirinya melainkan akibat adanya aktivitas mikrobiologis dari mikroba yang mengubah komponen makanan (karbo, protein, dst) menjadi zat-zat asam dan komponen lain yang berpotensi racun. Kasus lainnya yakni ketengikan. Tentunya Anda pernah merasakan produk mentega yang rasanya telah berubah menjadi lebih menyengat dan muncul sensasi tidak menyenangkan di lidah. Ya, mentega tersebut mengalami ketengikan (baik hidrolisis maupun oksidatif) yakni pemutusan ikatan trigliserida atau lemak menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana seperti asam lemak, komponen volatil penyebab bau, serta komponen intermediat radikal peroksida. Zat-zat peroksida ini tidak baik karena dapat dengan mudah teroksidasi oksigen sehingga merusak sel tubuh. Hal ini ada kaitannya dengan antioksidan (akan dijelaskan).

Kasus lainnya yang merupakan efek lanjut dari ketengikan adalah terdapat beberapa mikroba patogen (mikroba yang menyebabkan penyakit) yang dapat tumbuh pada produk makanan yang telah tengik. Contoh kasus: produk kacang goreng X digoreng menggunakan minyak kualitas rendah. Setelah beberapa waktu muncul tanda-tanda ketengikan. Mikroba, yakni kapang Aspergillus flavus senang tumbuh pada media kacang tengik ini dan pada kondisi tertentu menghasilkan racun yang dinamakan aflatoksin. Efek kesehatan aflatoksin salah satunya yakni kerusakan pada organ hati.

Beberapa orang merasa sayang membuang produk kacang X ini dan berinisiatif untuk membersihkan kapang yang menempel dengan harapan kacang layak kembali untuk dikonsumsi. Namun yang terjadi adalah racun aflatoksin ternyata masih ada pada produk kacang X meskipun kapangnya telah dibuang. Alhasil jangan heran bila konsumen akan mengeluhkan sakit di kemudian hari.

Pentingnya Antioksidan pada Produk Makanan Minyak

Antioksidan merupakan senyawa kimia yang mampu menghambat reaksi oksidasi pada lemak. Seperti yang telah disebutkan bahwa reaksi oksidasi pada lemak sangat dihindari karena berujung pada ketengikan produk. Reaksi oksidasi merupakan reaksi yang melibatkan oksigen dimana secara singkat oksigen menyerang ikatan rangkap pada lemak tidak jenuh sehingga mengubahnya menjadi lemak jenuh. Lemak jenuh tidak baik untuk kesehatan karena berkorelasi dengan penyakit kardio (sakit jantung, hati, dst). Selain itu selama proses oksidasi dihasilkan produk intermediat radikal bebas peroksida. Yakinlah Anda tidak ingin senyawa ini ada di dalam tubuh Anda.

Berbagai antioksidan diterapkan pada produk pangan berminyak seperti ciki, biskuit, chips, minyak goreng, dsb. Dapat dilihat pada bagian ingredient biasanya terdapat komposisi bernama BHA (butylated hydroxy anisole), BHT (butylated hydroxy toluene), TBHQ (tertiary butyl hydroquinon), atau PG (propyl gallate). Keempat senyawa tersebut adalah antioksidan sintetis (buatan) yang akan mencegah produk dari ketengikan dan serangan kapang Aspergillus penghasil aflatoksin.

Bagaimana dengan Antioksidan Alami?

Radikal bebas merupakan senyawa yang sangat tidak stabil (reaktif) dan akan menyerang senyawa apapun agar dirinya kembali pada keadaan stabilnya, termasuk menyerang sel tubuh. Peran antioksidan disini adalah mengorbankan dirinya dengan menyumbangkan atom hidrogen pada radikal bebas untuk mencapai kondisi stabilnya. Dengan demikiansel tubuh gagal diserang, melainkan senyawa antioksidan ini. Antioksidan umum pada makanan adalah dari jenis monohidroksi atau polihidroksi fenol (senyawa dengan struktur kimia berbentuk cincin). Antioksidan ini dapat ditemukan pada produk teh dan buah-buahan (yes, termasuk kulit manggis).

Jadi bukan isu lagi bahwa mengonsumsi teh dan buah buahan dapat relatif memperpanjang harapan hidup. Selain fenol, tentunya ada asam askorbat (vitamin C), dan tokoferol (vitamin E) yang memiliki struktur kimia yang mengandung gugus reaktif yang mudah teroksidasi oksigen, disinilah mereka menunjukkan fungsi antioksidannya.

Karena sifatnya yang mudah teoksidasi, vitamin Cmerupakan bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam formulasi produk pangan sebagai antioksidan (Kusnandar 2010). Peran sebagai antioksidan oleh vitamin C bersifat multifungsional dengan beberapa mekanisme seperti a)scavenging singlet oxygen, (b) reduction of oxygen- and carbon-centered radicals (c) preferential oxidation of ascorbate (d) regeneration of other antioxidants (Fennema 1997).

Contoh antioksidan lainnya pada bahan makanan: likopen pada tomat, betakaroten (vitamin A) pada wortel, selenium pada sayuran hijau, isoflavon pada kedelai.

Glutathione (GSH)

Tubuh manusia bukannya tanpa perlawanan terhadap paparan radikal bebas dari makanan dan lingkungan. Terdapat sistem biologis dalam tubuh membentuk mekanisme pertahanan dimana melibatkan sistem enzim diantaranya enzim: superoxida dismutase, catalase, glutathione peroxidase, glutation reductae, dan glucose 6-P-dehydrogenase. Kesemua enzim ini dapat dikatakan berperan sebagai antioksidan alami tubuh melawan radikal bebas. Seperti yang diketahui, enzim adalah salah satu bentuk dari protein.



Referensi:

Kusnandar, Feri. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta: Dian Rakyat.

Fennema, Owen R. 1996. Food Chmistry Third Edition. Wisconsin: Marcel Dekker Inc.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun