Mohon tunggu...
Happy Widiamoko
Happy Widiamoko Mohon Tunggu... -

sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suami dan Anak-anak-nya

15 September 2010   08:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Kapan kakak akan pulang, Ibu?”, seorang gadis duduk bersila dengan buku tergenggam di tangan bertanya pada ibu nya.
“Buah hatiku, kakakmu tentu memiliki keinginan untuk pulang. Menemui kita, melihat kita dan bercengkrama bersama. Namun siapapun orangnya, termasuk juga ibu, tak bisa menjawab kapan waktunya akan tiba. Bahkan bila pada akhirnya kakakmu tidak juga pulang, kita harus memiliki keyakinan tentang dirinya. Dia membutuhkannya, kita pun begitu.”
Seorang perempuan menggerakkan tangannya, mengelus lembut kepala gadis yang duduk di hadapannya. Lalu diakhiri dengan ciuman yang mendarat di pipi putrinya.
“Selalu ada yang bisa dirasakan. Lalu seberapa besar kah rasa rindumu padanya, Anak ku?”
Gadis itu bergerak ke pangkuan ibunya.
“Ibu, kakak memberikan ini padaku. Dulu, aku lebih ingin dibelikan boneka atau baju baru, tapi ia memberikan ini. Sebuah buku. Sekarang umurku sudah hampir dua puluh tahun. Sedang kakak tak jua kembali pulang. Aku ingin dia tau, bahwa buku pemberiannya bukan saja terus kusimpan dan kurawat. Tapi juga terus kubaca berulang-ulang. Aku berusaha memahaminya.”
Si ibu tersenyum, ia pandangi lentik bulu mata anak perempuannya.
“Apa yang dirimu pahami dari buku itu, Avanti?”
Avanti menggeser tubuhnya. Ditinggalkan pangkuan ibunya. Ia layangkan senyum dan mengenggam jemari tangannya.
“Sepertinya Kakak hendak berbisik ke telingaku. Bila kita menghendaki sebuah kehidupan yang bernilai, kita tidak bisa sekedar menerima apa yang telah berlaku sebelum dan yang ada saat ini. Mengubah, itulah tugas kehidupan. Jika kita menuruti rasa aman belaka, maka bagaimana mungkin kita bisa mengubah sesuatu? ”
Perempuan yang menyimak perkataan anak nya itu tidak mampu menyembunyikan binar-binar di raut wajah tuanya.
“Dirimu telah tumbuh, Anak ku. Tidak mudah tetap tumbuh di tengah kepungan situasi yang tak sederhana. Syukurlah dirimu ternyata memahaminya, kau terus mengusahakannya.”
Tak lama berselang, Avanti mengambil sesuatu dari lemari kayu yang berada di dalam kamarnya.
“Ibu, lihatlah ini. Ibu pasti telah membaca dan mengetahuinya. Terkadang saya menjadi begitu dihinggapi rasa cemas dan ragu. Maka ingin sekali saya bertanya padamu….”
Avanti menyodorkan lembaran koran yang sengaja ia simpan di dalam lemari bajunya. Pemerintah Terus Memburu Pelaku Insiden 13 Mei, judul berita utama di koran itu.
“Buah hatiku, tidak hanya 13 Mei, setiap tindakan tertentu akan melahirkan reaksi tertentu pula. Kita tidak bisa bersembunyi dari itu. Aku menikahi seorang laki-laki yang memiliki cita-cita. Bagaimana aku bertahan dari semua kesulitan adalah tentang bagaimana aku memahami cita-cita. Kakakmu pun memiliki cita-cita, seperti halnya ayahnya. Ini bukan soal keturunan belaka. Dan ingat anakku, di dalam setiap cita-cita, terselip sebilah belati.”
Avanti mengerutkan dahinya. Matanya menerawang menatap langit-langit rumah.
“Saya mengerti, Ibu. Tapi saya belum menjadi seperti dirimu. Saya hanyalah seorang remaja yang sejak kecil tak pernah berhenti didera tudingan orang-orang. Saya dikepung oleh serangan terhadap ayah dan kemudian kakak. Kecemasan tumbuh melebihi usiaku. Jantungku masih berdegub kencang bila mengingat peristiwa itu. Ibu, saya hanyalah bocah 12 tahun saat ayah mengkahiri hidupnya di depan regu tembak. Bahkan saat pemakaman ayah, rasa sedih digantikan oleh kebingungan dan segudang pertanyaan.”
Perempuan tua itu bergerak mendekati anaknya.
“Avanti, kematian itu adalah keniscayaan. Tapi tidak semua kematian niscaya mengirimkan pesan. Ayahmu, menuliskan pesan itu tanpa ragu. Dia menulisnya dengan segenap keberanian. Tidak sedikit orang yang kemudian menangkap pesannya. Besyukurlah, kakakmu Ibrahim sanggup melihat pesan itu.”
Avanti terdiam sesaat. Tak lama kemudian, ia memeluk ibu nya erat-erat.
“Biarkan semua yang tertulis dalam ingatan dan lembaran pengetahuan mendapatkan kenyataannya dalam tindakan.”

*****

“Apa yang mengantarmu sampai ke sini, anak muda?”
Wajah yang dipenuhi memar dan kedua pelipis yang terkoyak itu tidak segera menjawab. Tangannya memegangi kaki kirinya yang tampak membengkak.
“Rasa sakit, awalnya mungkin begitu. Lebih sakit dari semua luka yang ada di tubuhku saat ini.”
Laki-laki tua berkacamata tampak mengamati sejenak tubuh pemuda yang ada dihadapannya. Ya, sekujur tubuhnya dipenuhi luka dan memar. Jejak penyiksaan yang bertubi-tubi.
“Rasa sakit macam apakah yang membuat seorang pemuda sepertimu rela menerima memar, luka dan bengkak di sekujur tubuhnya?”
Pemuda tadi mengarahkan penglihatannya ke sekililing ruangan. Ruangan sempit yang dibatasi terali besi itu terlihat kusam dan pengap. Hawanya terasa sungguh lembab, membahayakan sekujur tubuh yang ringkih. Hanya ada cahaya kecil dari sinar matahari yang menerobos masuk dari lubang udara yang teramat kecil. Temboknya dihiasi coretan dan bekas darah yang mengering.
“Namanya Baja. Ia hanyalah seorang petani miskin di sebuah desa. Pada awalnya ia hanya berfikir bagaimana ototnya dapat mengepulkan asap dapur. Ia lelaki yang sederhana…”
Kalimat itu terhenti. Laki-laki muda dengan rasa letih yang menggeranyangi seluruh badan menahan hasrat berceritanya. Matanya tertuju pada sosok manusia tua yang mulai dimakan umur. Bola matanya memendam sebuah arti. Tak lama berselang, pemuda itu menyandarkan tubuhnya ke tembok. Seketika suasana menjadi hening. Tak ada suara, tak ada yang berbicara. Keduanya seolah hendak menjaga sesuatu. Hingga kemudian laki-laki tua yang ada di dalam ruangan yang sama mulai beranjak dari tempatnya. Ia menggeser letak duduknya dengan hati-hati.
“Anak muda, setelah semua yang terjadi, kita semua begitu susah untuk mempercayai siapapun. Terlebih orang yang baru kita jumpai. Apalagi di tempat seburuk ini. Jika dirimu tak hendak bercerita. Simpanlah semuanya dengan baik, karena kupikir semuanya begitu berarti bagi masing-masing kita. Tapi jika harus berbagi, berbagilah dengan lapang pula. Anak muda, perkenalkan, namaku Ghali.”
Laki-laki tua itu menyodorkan tangannya.
“Ibrahim!”
Pemuda yang tulang punggungnya tampak sedikit membengkok menjabat tangan laki-laki tua di hadapannya.
“Baja adalah ayahku. Orang-orang yang mengenalku sudah mengetahui semua. Tak ada rahasia lagi tentangnya. Ia telah menjemput kematian dengan cara yang terhormat. Tadinya, seperti yang kuceritakan padamu, ia hanyalah petani miskin seperti kebanyakan yang lainnya. Lalu semuanya berjalan dengan cepat. Desa kami berubah menjadi rumput kering yang siap terbakar sejak kuasa modal berkehendak merampas tanah. Orang-orang desa pada awalnya takut dan bingung. Tapi kemudian nasib menuntun mereka untuk berkumpul. Maka bergabunglah kami dalam satu gerakan.”
Laki-laki tua bernama Ghali itu memilih untuk bersikap diam terlebih dahulu. Ia hendak menyimak lebih dalam.
“Tadinya saya tidak percaya dengan apa yang terjadi. Terlebih lagi dengan jalan yang diambil orang-orang. Saya fikir, melawan hanyalah akan memberikan kesia-siaan. Sampai kemudian waktunya tiba, saya banyak belajar dari semua peristiwa. Dan kematian ayahku adalah pintu masuknya. Kematiannya menghanguskan kemanjaanku, maka aku harus bergegas untuk belajar! Pertama kali adalah belajar untuk memeprtahankan hak, selanjutnya kami semua belajar memahami keadaan. Dan pada akhirnya sampailah kami pada cita-cita. Dengan cita-cita, rasanya saya seperti terlahir kembali dan meraih anugerah hidup.”
Ibrahim mendongakkan kepalanya, ia kenakan kembali baju yang sempat ditanggalkannya.
“Kadang pencarian kebenaran dimulai dari rasa sakit. Lalu peristiwa apa yang membuat ayahmu musti terbunuh?”
Pemuda tadi terdiam kembali. Tubuhnya sedikit bergetar. Sepertinya sesuatu tengah mengguncang dirinya. Raut muka nya berubah jadi sedikit tegang.
“Malam itu. Polisi yang menyerbu desa kami, 12 orang diantaranya terbunuh. Maka ayah saya harus menggantinya. Mengganti nyawa-nyawa yang melayang dengan nyawa miliknya. Ia didaulat sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Begitulah.”
Ibrahim menghela nafas sejenak.
“Lalu kau sendiri, ada apa dengan dirimu Pak Tua?”
Umpan itu akhirnya berbalik. Pria yang memiliki lebih dari setengah abad perjalanan hidup itu membetulkan sejenak letak kacamatanya.
“Aku diseret kemari karena mereka berfikir dalam dunia ini hanya boleh ada satu gagasan. Aku adalah penulis. Ini kali ketiga aku berkunjung ke tempat laknat ini. Tulisanku mengadung masalah. Bukankah begitu seharusnya?”
Ibrahim tampak menahan senyumnya.
“Dalam dunia yang dipaksa menjadi bisu dan bodoh, kata-kata adalah serangkaian kejahatan. Maka dirimu adalah penjahatnya! Lalu kejahatan seperti apa yang telah kau tuliskan, Pak Tua?”
Ghali mengeryitkan dahinya. Ia memainkan pundak dan tangannya, berlagak seolah-olah ia tak paham jawaban atas pertanyaan yang diajukan padanya.
“Ha.ha.ha.Bagi mereka, saya dianggap menistakan keyakinan yang disucikan. Mengundang keresahan, melakukan penghinaan secara sadar, memproduksi ajaran yang menyesatkan dan sebagainya dan sebagainya. Semuanya terasa seperti lelucon! Mungkin mereka lupa, bahwa keyakinan yang mereka taati saat ini, dulu juga dianggap penistaan dan pengingkaran oleh orang-orang sebelumnya. Mereka mengulang tingkah polah orang-orang yang dulu mereka perangi. Kita dipaksa menerima sesuatu yang tidak bisa kita terima. Bukankah mereka juga tak sudi diperlakukan demikian? Bukankah mereka juga akan mempertahankan apa yang menurut mereka harus dipertahankan? Tiga kali, empat kali atau berapapun nanti kita harus kembali dijebloskan ke kamar pengap ini, ia hanyalah hitungan angka pertahanan dari kuatnya benteng keyakinan yang musti terus kita bangun!”
Ibrahim tampak mulai bergembira dengan lawan bicaranya.
“Hidup ini dipenuhi gagasan-gagasan, ide-ide dan fikiran-fikiran. Bukankah begitu, Pak Tua? Manusia mencerna kenyataan untuk kemudian menulis ulangnya dalam pengetahuan-pengetahuan. Lalu pengetahuan-pengetahuan itulah yang menjadi obor penerang kehidupan kita. Obor yang akan terus berganti, hingga menuju ke kesempurnaannya. Tak bisa disangakal, dunia ini digerakkan oleh kekuatan akal dan tindakan manusia. Satu-satunya penggerak yang sadar dari sejarah umat manusia.”
Pak Tua tak lagi segan menunjukkan ketertarikan pada pemuda dihadapannya itu.
“Anak muda rupanya dirimu sudah belajar banyak hal! Sudah sepantasnya dirimu ada di tempat ini. Sebuah kehormatan buatku! Mereka lebih menyukai dunia penuh mitos, khayalan dan takhayul. Karena di atas kebodohan yang dijaga dengan ketat, maka kekuasaan akan terasa lebih mudah untuk diamankan.”
Ditengah percakapan, sayup-sayup terdengar bunyi derap sepatu lars memainkan irama. Suara itu merambat cepat. Terburu-buru mendekati ruang yang mengunci dua anak manusia yang sebelumnya sedang menikmati gairah perkenalan. Sebuah bentakan tiba-tiba keluar dari mulut laki-laki yang dipinggangnya terselip sebuah pistol.
“Ibrahim! Bandit busuk! Ikut kami!”
Ibrahim menolehkan pandangannya ke arah suara itu. Suara yang tak bersahabat.
“Pak Tua, aku pergi dulu. Ada banyak orang yang bercita-cita dan kau pun tak akan pernah kehilangan teman bicara. Sampai jumpa! Dan nerakapun tak akan mampu menghentikan kebenaran!”
Tiga orang berbadan tegap kemudian menyeret tubuh Ibrahim untuk dibawa pergi.

*****

Tujuh tahun kemudian…

Prosesi pemakaman sedang dipersiapkan. Beberapa orang telah selesai menggali liang kubur. Di sebuah mobil, peti mati tergeletak bisu menunggu untuk dikeluarkan. Areal pemakaman dijejali orang-orang berduyun-duyun datang. Ada yang sekedar memenuhi rasa ingin tau ataupun penyuka peristiwa dan keramaian. Tak sedikit pula yang bersimpati dan digerakkan solidaritas. Tapi media tentunya memiliki hasratnya sendiri. Puluhan kamera televisi dan pengabadi gambar berjejer tak rapi mengejar berita.
“Ini akan menjadi hari yang istimewa bagiku. Tugu bagi sang martir. Aku kembali memperoleh kesempatan terhormat.”
Perempuan tua berjalan didampingi beberapa kerabat dan handai taulan. Tubuh kurusnya sama sekali tak menyiratkan kerapuhan. Ia menatap tajam semua orang. Bukan kemarahan atau kebencian, tapi keyakinan dan rasa hormat. Semua mata tersihir untuk mengarahkan pandangannya ke perempuan yang rambutnya telah memutih.
Dan waktunya pun tiba. Perempuan tua mengepalkan tinjunya ke udara. Pekik keras keluar dari mulutnya, otot-otot tampak menonjol di lehernya yang keriput. Ketuaan rupanya tak jua melayukan nyali dan semangat. Sungguh pemandangan yang membuat si muda tersipu malu.
“Terima kasih untuk semua yang berkumpul disini. Terima kasih untuk semua yang telah menyempatkan waktu. Terima kasih untuk semua perhatian.
Saudara-Saudari ku, di tempat ini rasa sedih tak lagi layak mekar. Pengkuburan bukanlah semata cerita kehilangan. Terdapat banyak hal lebih penting dari itu. Satu diantaranya adalah cerita tentang seseorang. Kita musti mencari tahu, bagaimana cerita itu berjalan dan apa yang kita dapatkan darinya. Hari ini saya merasa bahwa diri saya adalah perempuan yang sangat beruntung. Saya hidup dengan lelaki yang mengagumkan dan melahirkan anak-anak yang melanjutkan warisan kehormatan. Saya adalah bagian dari cerita itu dan mendapatkan keberuntungan bisa belajar langsung dari apa yang telah mereka lakukan. Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang saya kasihi.
Banyak orang berharap saya akan meneteskan air mata. Tapi maaf sekali, saya tidak bisa memenuhinya. Jika saya boleh bersedih, satu-satunya kesedihan saya adalah….”
Perempuan tua itu sesaat menarik nafasnya dalam-dalam.
“Satu-satunya kesedihan saya adalah, saya tak lagi memiliki anak yang bisa saya sumbangkan untuk jalan perjuangan ini! Hanya itu kesedihan saya! Tidak lain! Terimakasih.”
Dan tubuh kaku Avanti pun diturunkan ke lubang kubur. Ia menyusul Ayah dan kakaknya, Ibrahim.

*****

*) Kisah ini diinspirasi oleh keteguhan sikap yang mengagumkan dari seorang ibu di Palestina. Anak-anaknya adalah pejuang pembebasan Palestina yang seluruhnya tewas terbunuh oleh tentara Israel.
“Dan satu-satunya kesedihan saya adalah saya tak lagi memiliki anak yang bisa saya sumbangkan untuk jalan perjuangan ini!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun