Mohon tunggu...
Happy Nastiti
Happy Nastiti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wanderer

Public Policy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan Kedaulatan: Menanggapi Ancaman Konflik di Laut China Selatan

29 Mei 2024   13:25 Diperbarui: 29 Mei 2024   13:32 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Laut China Selatan Sumber: SCMP

 

Laut China Selatan (LCS), wilayah persilangan yang bernilai ekonomis, politis dan strategis, telah menjadi subyek ketegangan selama bertahun-tahun. Belakangan, ketegangan di kawasan LCS kembali memanas saat Filipina protes terkait adanya tembakan meriam air oleh kapal penjaga pantai Beijing terhadap kapal patroli Manila di LCS (VoA, 2024).

Ketegangan di kawasan LCS yang kembali terjadi ini mencuri perhatian publik, pasalnya selama bertahun-tahun wilayah ini sering menjadi sengketa di antara negara negara kawasan karena menyangkut banyak aspek kepentingan, sehingga jika hal ini terjadi secara terus menerus tanpa adanya benang merah yang jelas, maka berpotensi menimbulkan ancaman signifikan terhadap kedaulatan negara negara yang mempunyai kepentingan, termasuk Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang juga berbatasan langsung dengan LCS melalui kepulauan Natuna, kedaulatan dan keamanan Indonesia sangat erat kaitannya dengan stabilitas kawasan. Selain itu, konflik LCS ini juga mampu melemahkan upaya Indonesia menuju pembangunan ekonomi dan kerjasama regional.  

Lantas, bagaimana posisi Indonesia dalam konflik LCS? Apa langkah yang harus diambil oleh Indonesia sebagai andil dalam penyelesaiaan sengketa LCS?

Kompleksitas Konflik di Laut China Selatan

Dinamika yang terjadi di LCS merupakan salah satu isu paling kompleks dalam geopolitik regioal dan global. Konflik yang terjadi ini timbul karena adanya persaingan klaim kedaulatan atas pulau pulau dan sumber daya alam di kawasan LCS. Konflik terkait klaim kawasan territorial ini sudah berlangsung cukup lama, dan semakin diperparah tatkala China pada (8/2023) merilis peta "standar China" edisi 2023, yang disinyalir menabrak batas kedaulatan negara karena menunjukkan klaim atas wilayah Vietnam, Malaysia, Filipina, hingga wilayah yang berbatasan dengan Indonesia. 

Peta baru tersebut merupakan justifikasi China atas kepulauan Spartly dan Paracel dengan berdasar pada sejarah China yang pertama kali ditunjukkan pada 1947. Selain itu, peta tersebut juga memperlihatkan bahwa wilayah China digambarkan lebih luas dari sebelumnya. Hal ini terkait adanya sembilan garis putus-putus (nine dash-lines) menjadi sepuluh garis putus-putus (ten dash-lines) dengan mencaplok wilayah Taiwan serta dua wilayah dekat perbatasan India disepanjang Himalaya yakni Arunachal Pradesh dan Aksai Chin (BNPP, 2023). 

Atas adanya klaim sepihak ini, Indonesia yang selama ini menjadi negara non-claimant di wilayah LCS, merespon dengan menegaskan bahwa penarikan garis suatu wilayah khususnya peta baru China 2023 harus didasarkan pada hukum laut internasional UNCLOS 1982. Indonesia juga tidak mengakui klaim China tersebut, karena hanya didasarkan pada aspek historis bukan berdasarkan pada hukum yang berlaku (CNBC, 2023).

Sementara itu, negara negara ASEAN yang juga bersengketa di wilayah LCS juga memiliki klaim nya masing masing. Dimana Malaysia menunjukkan klaim teritorialnya atas sebagian LCS dan 12 bagian dari rangkaian kepulauan Spartly. Filipina, yang juga melakukan klaim bahwa timur laut dari kepulauan Spartly yang mencakup pulau Kalayaan dan Scarborough Shoal merupakan wilayahnya. Brunei Darussalam, menunjukkan klaim atas Riflemen Bank, Louisa Reef, dan Owen Shoal merupakan bagian dari wilayah zona ekonomi ekslusif (ZEE) nya, sejak merdeka dari Inggris 1984. Sementara Vietnam yang menunjukkan klaim teritorialnya atas sejumlah terumbu karang di kepulauan Paracel dan Spartly (Kompas, 2024). 

Adanya klaim teritorial yang bertentangan dan tumpang tindih ini mampu menciptakan ketidakpastian hukum dan geopolitik yang dapat memicu terjadinya konflik yang berkepanjangan antara kepentingan negara dan kewajiban internasional terkait pemberian akses/transit di kawasan tersebut sesuai UNCLOS 1982, tanpa melihat solusi praktik yang sebenarnya sudah tersedia dari praktik kelaziman hukum internasional.

Konflik LCS semakin kompleks dengan adanya keterlibatan dari kekuatan hegemoni global seperti Amerika Serikat (AS) yang juga turut memperumit dinamika konflik. Walaupun AS bukanlah pihak yang secara langsung bersengketa di LCS, akan tetapi kehadiran AS melalui kebijakannya mampu menjadi 'high-profile intervention' dengan alasan kepentingan strategis dan ekonominya. Misalnya dengan adanya kerjasama militer antara AS-Filipina dan juga AS-Vietnam dengan ditandatanganinya 'Statement of Intent on Military Medical Cooperation' di Hanoi pada 2010 silam (Darmawan & Ndadari, 2017). Ketegangan juga semakin diperparah dengan adanya eskalasi militerisasi di kawasan tersebut. Pembangunan pulau buatan dan instalasi militer oleh beberapa pihak juga telah meningkatkan ketegangan dan resiko konflik bersenjata. Selain itu, insiden seperti bentrokan antar kapal kapal patroli, juga telah menambah ketegangan antara negara negara yang bersengketa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun