Membangun kualitas kesehatan reproduksi remaja itu tidak sesederhana meningkatkan pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi
Setidaknya itu nilai yang dapat saya ambil dariprogram kesehatan remaja dimana saya pernah menjadi bagian dalam program tersebut. Tahun 2014-2015 lalu saya dan teman-teman satu team kesehatan terdiridari masing-masing satu orang dokter, perawat, bidan dan dua orang pemerhati kesehaan masyarakat ditugaskan di daerah remote area, di salah satu Kecamatan di Karawang. Kami membuat program remaja yang berupaya meningkatkan kualitas reproduksi remaja melalui peer educater. Melalui pendidik sebaya ini kami berharap mereka menjadi penyambung lidah kami untuk mengajarkan tentang kesehatan reproduksi ini pada teman-temannya yang lain.
Pernikahan Usia Remaja
Awal Februari lalu adalah lima bulan pascapenugasan saya di daerah tersebut, dan saya dikejutkan oleh sebuah foto disosial media. Salah seorang anggota pendidik sebaya tersebut berfoto dengan anggota aktif lainnya dengan menggunakan gaun pernikahan di pelaminan. Awalnya saya tidak yakin, hingga seorang anggota pendidik sebaya yang lain menjelaskan kepada saya. Berdasarkan informasi, remaja yang baru menginjak kelas I SMK inidijodohkan dengan remaja yang usianya telah diatasnya. Saya mengenal dekat remaja perempuan ini, kami pernah berbincang tentang cita-citanya setelah lulus pendidikan menengah atas. Ia juga termasuk gadis yang periang, cerdas dan aktif dalam kelompok pendidik sebaya ini.
Saya bisa membayangkan bagaimana kekhawatiran orang tua akan anak-anak mereka. Di daerah tersebut, remaja yang putus sekolah dan menikah dini seperti menjadi hal yang biasa. Biasanya diawali dengan remaja yang sudah memasuki usia pacaran, kemudian orang tuanya tidak ingin hal-hal buruk terjadi pada anak mereka lalu menikahkannya. Selanjutnya, orang tua tidak akan mengambil pusing meskipun akan berakhir pada perceraian karena kekurangmatangan emosi mereka. Sehingga tidak hanya banyak pernikahan muda, tetapi juga kasus perceraian di daerah tersebut.Â
Menurut World Fertility Policies United Nations 2011 angka pernikahan dini di Indonesia menempati urutan ke-37 dari 73 negara. Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia merupakan yang terbesar kedua setelah Kamboja. Â Kasus pernikahan dini yang paling tinggi memang terjadi di NTB (Nusa Tenggara Barat) mencapailebih dari 50% per 1000 wanita usia subur usia remaja, tetapi di Karawang banyak terjadi juga. Dari seluruh total di Jawa Barat berdasarkan informasi BKKBN, dari 1000 wanita subur usia 15-19 tahun, sejumlah 100 orang atau 10% yang menikah di usia tersebut. Sementara data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015 menyebutkan, sekitar 2 juta perempuan Indonesia usia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Angka itu diperkirakan meningkat menjadi 3 juta orang pada 2030.Â
Saya cukup sulit membayangkan bagaimana mereka akan menghadapi permasalahan kesehatan reproduksi, mengingat pengetahuan mengenai hal ini sangat terbatas. Dan menjadi sesuatu yang tabu membicarakan mengenai kesehatan reproduksi meskipun hal umum sekalipun di daerah tersebut. Hal ini berdampak pada peran untuk menjalankan fungsi keluarga yang sehat. Pengetahuan mereka sendiri saja terbatas, kemudian menjadi hambatan untuk membangunkesehatan reproduksi generasi-generasi keluarga mereka.
Selama saya bertugas di daerah tersebut, banyak permasalahan kesehatan reproduksi juga permasalahan sosial akibat ini. Di layanan kesehatan sering terjadi bayi dilahirkan dengan BBLR (berat badan lahir rendah) yang kemudian berujung pada kematian bayinya, juga ibu yang melahirkan dengan risiko tinggi karena usia muda. Pernah juga suatu kali ada seorang ibu meminta bidan memeriksa urin untuk tes kehamilan anaknya. Anaknya ini ketahuan pacaran kemudian akan segera dinikahkan dan sudah keluar dari sekolah menengah pertama, tapi ternyata si anak tidak melakukan apa-apa dengan pacarnya.
Peran Sekolah dan Keluarga
Peningkatan pengetahuan saja ternyata tidak cukup, ada lingkungan terdekat yang membentuk para remaja ini yaitu sekolah dan keluarga. Kami mencoba memulai membangun kualitas remaja mulai dari membangun mentalnya, membangun mereka berpikir positif, mendorong mereka mengembangkan cara berpikir nyata, mengembangkan sikap percaya diri pada mereka, serta beberapa hal yang khusus berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Sebenarnya hal-hal yang kami ajarkan adalah bagian dari hal-hal yang sudah mereka pelajari di rumah dan di sekolah, kecuali kesehatan reproduksi. Tapi kenyataannya ada hal-hal di luarkekuasaan si remaja dalam hal pernikahan dini ini. Banyak alasan keluarga yang ingin segera menikahkan anak perempuan mereka terutama.
Sekolah dan keluarga menjadi tempat yang penting untuk membangun kualitas reproduksi remaja atau permasalahan seperti ini. Tetapi sayangnya ternyata sekolah belum memiliki porsi yang cukup mengajarkan terkait kesehatanreproduksi remaja. Kami mencoba melibatkan sekolah dalam upaya pembangunan kesehatan remaja ini dalam program, tapi tampaknya usaha kami kurang berhasil. Sekolah hanya sebatas memfasilitasi apabila ada yang ingin melakukan sosialisasi, mereka tidak memiliki kurikulum atau instruksi khusus untuk tema spesifik seperti ini. Sementara itu pihak lain yang diharapkan bisa mengambil bagian dalam proses ini juga kurang respect, karena menurut mereka ini bukan masalah yang terlalu serius.