Selamat siang rekan-rekan pembaca semua, entah kenapa diriku sekarang gemar sekali untuk menulis di dalam medium, blog pribadi, maupun kompasiana, apakah ini yang dinamakan kecanduan? walau memang medium tidak bisa memonetize tulisan karena strafe belum available Indonesia bukan malah produktifitas menulis saya menurun, karena sejatinya menulis adalah hasrat saya yang harus dikeluarkan, dan saya selalu berharap bahwa tulisan saya bisa dinikmati seluruh kalngan masyrakat dan tentunya berguna buat mereka para pembaca setia entah di blog pribadi saya, social media, medium, ataupun kompasiana
Jadi, beberapa hari lalu adalah hari raya idul fitri yang ke 1439H, banyak sekali orang silih berganti berkunjung ke rumah saya, baik dari tetangga, kerabat, maupun keluarga besar yang melakukan "roadshow". Pastinya dalam kunjungan mereka-mereka pasti ada saja bahan topik obrolan yang dilontarkan, seperti berbicara mengenai keadaan masing-masing keluarga dan sanak saudaranya, lalu isu-isu hangat yang sering terjadi, kemudia berita tentang ekonomi, dan sebagainya.Â
Namun yang saya rasa ketika para orang tua berkumpul selalu menyeret anaknya dalam arus pembahasan para orang tua laksana saling membanggakan masing-masing achievement yang anaknya telah lampaui, entah anaknya yang sudah bisa berjalan, anaknya yang masuk tk unggulan *ini agak berlebihan sih, lalu hingga menjadi ketua organisasi suatu asosiasi di sekolah menengah atas anaknya dan sebagainya, namun yang saya selalu tertarik mendengarnya adalah mengenai pencapaian-pencapaian yang berbau akademik dan ke-organisasian, dan yang saya ingin garis bawahi dalam tajuk tulisan ini adalah kecerdasan organisasi para generasi millennials
Jadi, fenomena millennials yang jago organisasi sudah saya rasakan sejak di sekolah menegah pertama (SMP), jadi hal yang utama dalam tajuk tulisan ini adalah untuk mengekspos bagaimanakah pola pikir millennials dalam menjadi pemimpin hingga pasca memimpin. Saya sendiri sejak SMP sudah bisa dibilang gila organisasi walau saya bukanlah seorang ketua namun di SMP saya bergabung dengan OSIS (Organisasi Intra Sekolah) yang posisinya cukup vital yaitu wakil ketua.Â
Saya ingat betul dulu sewaktu SMP saya melakukan orasi terbuka di hadapan ratusan siswa dan stakeholder sekolah, dan seakan seakan hal itu mengalir saja, apakah ini yang dinamakan anugrah Tuhan? Awalnya saya tidak percaya saya dan teman sebaya saya yang sejatinya masih dibilang bocah gede sudah berani mampang di depan panggung untuk kampanye dan orasi, dan sampai saat ini saya berfikir bahwa memang millennials ini terlalu overwhelm untuk masalah menjadi pemimpin dan memimpin karena sudah banyak sekali fenomena-fenomena yang saya alami sendiri sebagai millennials dalam badan keorganisasian hingga saat kuliah ini.Â
Saya pun mengakui bahwa memang millennials adalah orang yang maniak akan organisasi, rela berangkat pagi pulang pagi untuk menjadikan organisasi yang paling berkuasa dan disegani oleh masyarakat kampus ataupun masyarakat sekolah. Saya pun benar-benar merasakan anugrah ini disaat SMA ketika memang saya bukanlah pemimpin namu saya menjadi pioneer pembicara dalam perkumpula ekstrakulikuler yang ada di SMA saya, yaps saya menjadi seorang humas untuk ukm band selama 2 tahun, dan akhirnya tersadar bukan hanya skill leadership saja yang dimiliki oleh millennials, para millennials-pun jago untuk melakukan diplomacy, public speaking, dan opinion brainstormer sekaligus opinion bringer.Â
Para millennials selalu memiliki ide-ide kreatif dan secara mandiri ataupun bersama-sama menyampaikan idenya kepada khalayak umum dan mereka menilai sendiri apakah ide saya sudah baik atau belum based on pendapat masyrakat. Dan saat SMA tersadar bahwa leadership saya biasa-biasa aja tapi skill saya di diplomacy, opinion brainstorming, dan hal-hal terkait saya memang mumpuni.
Lalu, bagaimanakah millennials bisa mahir menjadi seorang pemimpin atau setidaknya menjadi seorang diplomates? Jadi begini sejatinya millennials hidup di tahun dimana retorika adalah kunci utama untuk membujuk insan manusia lain, lalu millennials mencoba selalu mengkesplor dirinya menjadi seorang insan yang pandai untuk meretorika sehingga para millennials bisa menjadi pemimpin yang baik. Lalu menurut laman forbes, berikut ada tujuh jalan millennials mengganti cara memimpin yang kuno.
"Tujuh Jalan Mengapa Millennials bisa Mengganti Cara Memimpin yang Kuno"
1. Â "Millennials sangat aware terhadap soft-skill lain"
Millennials dianggap insan yang tak kenal lelah, millennials selalu ingin sesuatu hal yang lebih, contohnya adalah millennials sejatinya sudah mengenali kelemahan dan kekuatan mereka namun para millennials selalu mencari celah untuk mengeksplornya lagi dan mereka akan gemar menambahkan skill-skill baru yang didapatkannya entah dari mentoring ataupun workshop
2. "Millennials kurang suka dengan beberapa pemimpin yang sekiranya tidak sesuai dengan standar yang ada"
Millennials akan cenderung kurang suka dengan hal-hal yang sekiranya kurang memenuhi standar sehingga para millennials sering kali mengutarakan pendapatnya kepada para koleganya, namun apabila yang kita bahas adalah lingkup kerja, apabila para millennials bekerja disuatu korporat yang sekiranya memiliki pemimpin yang kurang baik atau tidak memenuhi standar, millennials cenderung untuk pergi meninggalkan korporat tersebut ketimbang tersiksa dalam batin mereka sendiri