Mohon tunggu...
Hanif Azhar
Hanif Azhar Mohon Tunggu... Part-time student, Full-time traveller -

Pokemon Master wannabe!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Miniatur Universitas Kehidupan

5 September 2010   12:46 Diperbarui: 7 Juli 2017   13:38 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu lalu, ketika masih dalam masa perwalian dan pengisian Formulir Rencana Studi (FRS) Online, tampak fenomena langka yang baru saya temui selama dua tahun kuliah di kampus perjuangan. Ratusan mahasiswa berbondong-bondong pergi ke kampus dengan membawa bundelan sertifikat. Proses FRS pun semakin lama. Karena mereka harus mengantri untuk menyodorkan sertifikatnya satu-satu. Ada apa gerangan? 

Satuan Kredit Ekstrakulikuler Mahasiswa (SKEM) merupakan salah satu inovasi baru Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk melatih soft skill mahasiswanya. Sebenarnya, sistem ini sudah dicanangkan ketika status saya masih mahasiswa baru, dua tahun lalu. Penampakan gagasan baru tersebut tentunya menuai banyak kontroversi, baik di kalangan mahasiswa maupun staf pengajar. 

Bagi mahasiswa yang memang sudah berjiwa aktivis dari sono-nya, pemberlakuan SKEM dirasa cukup efektif untuk merangsang soft skill mahasiswa ITS. Dengan sistem ini, secara tidak langsung mahasiswa angkatan 2008 ke bawah akan dipacu untuk berkompetisi dari berbagai macam lomba dan aktif dalam forum ilmiah. Selain itu, mereka akan semakin terampil dan tidak hanya berbekal hard skill untuk menapaki dunia nyata setelah dilantik lulus dari almamaternya. 

Erik Sugianto, salah seorang sahabat saya berpendapat bahwa tuntutan mahasiswa untuk memenuhi SKEM itu sangatlah mudah. Bagaimana tidak, batas minimal untuk memenuhi standar hanyalah 1000 poin. Sedangkan, hanya dengan mengikuti sebuah seminar saja sudah mendapatkan secarik sertifikat yang bernilai 200 poin. Jadi hanya dengan mengikuti 5 seminar saja, sudah cukup untuk menutup kewajiban ber-SKEM ria.

 Belum lagi kalau mengikuti pelatihan pengembangan diri seperti LKMM dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). “Banyak jalan menuju standardisasi SKEM. Apapun kegiatan yang kita lakukan pasti bernilai SKEM. Kalau pihak birokrasi benar-benar berniat mengasah soft skill mahasiswanya, semoga standardisasi ini bisa lebih ditingkatkan,” ungkap Ketua Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Jurusan (FSLDJ) Jamaah Masjid Manarul Ilmi (JMMI). 

Anggukan kepala juga dilontarkan oleh senior saya, Tyzha Inandia, salah seorang mahasiswi Desain Produk Industri angkatan 2007. Menurutnya, SKEM memang dibutuhkan oleh mahasiswa. Sayangnya, tidak banyak mahasiswa yang menyadarinya. 

Oleh sebab itu, mungkin bagi aktivis sejati tak kan keberatan dengan hal tersebut, bahkan mungkin banyak yang menilai standardisasinya masih cukup rendah sebagaimana yang diungkapkan Erik Sugianto di atas. Tapi, bagi mahasiswa tipe kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) mungkin SKEM bagaikan tas punggung berbobot 10 Kg yang harus dibawanya selama kuliah. 

“Intinya, saya optimis SKEM akan mengoptimalkan soft skill mahasiswa. Semuanya pasti terbiasa karena terpaksa. Saya acungi jempol untuk inovasi birokrasi yang satu ini,” ujar Tyzha, Sekretaris Himpunan Mahasiswa Desain Produk Industri (HIMA IDE) 2009/2010 itu. 

Sebagai seorang pelajar, sepatutnya tugas utama adalah belajar. Mulai dari sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi sekalipun, belajar tetaplah harus diutamakan. Semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, semakin kompleks pula tingkatan yang harus dipelajarinya. 

Apalagi kita di sini yang sudah menyandang status sebagai mahasiswa, pengetahuan berbagai bidang harus senantiasa di-upgrade. Dari kata-katanya saja sudah bisa ditebak, mahasiswa itu mengandung makna dan tanggung jawab jauh lebih besar dibandingkan dengan siswa. Sayangnya, tidak banyak mahasiswa yang menyadari akan peran dan fungsi utama mereka sebagai mahasiswa. 

Tidak sedikit mind set bahwa proses belajar seorang pelajar hanyalah sebatas upgrade kemampuan akademik saja. Sungguh ironis mahasiswa yang masih berpikiran seperti itu. Di samping itu, masih banyak mahasiswa yang berpikiran sempit. Berpikir bahwa proses belajar mereka hanyalah terlaksana di dalam ruang kelas. Secara tidak langsung, mereka membatasi diri mereka sendiri dari dunia luar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun