II.
”Ayah, sakit...!” aku meronta ketika tiba-tiba ayah masuk ke kamar lalu menarikku keluar dari rumah di malam-malam buta.
Tanganku dicengkramnya erat dan langkahku terseret. Kaki kecilku tak mampu mengimbangi langkahnya. Nafasku terengah dan keringat membasahi tubuhku meski angin laut begitu dingin menyelimuti tubuh kecilku.
Ada cahaya kecil di depan. Perlahan sinar itu tampak jelas. Seperti api unggun di sekolah pada waktu perkemahan pramuka sebulan yang lalu. Suara laki-laki dewasa lebih dari satu orang kudengar. Aku jadi tambah takut.
”Ayah....” ujarku pelan.
”Ssst... diam”
Tiba-tiba ”Buuuk!!!”. Aku dilempar ayah begitu saja diatas pasir pantai. Aku mulai menangis. Lalu datang seorang pria dewasa yang aku tak kenal membekap mulutku dengan sehelai kain yang berbau amis. Aku meronta. Aku teriak tapi kain itu menutup mulutku begitu erat.
Aku mencoba melihat ke arah ayah. Ayah tertawa-tawa tak jelas. Sepertinya ayah lagi mabuk. Botol minuman berserakan didekatnya. Aku tak mengerti mengapa aku dibawa ke sini. Belum sempat aku berpikir, aku diangkat ke atas perahu yang sudah tak terpakai di dekat api. Kakiku menendang-nendang, tapi percuma tubuhku terlalu kecil melawan mereka.
“Sudah kaka nyong, lakukan saja apa yang mau kau lakukan pada anak sial itu. Bebaslah. Utangku lunas semua. Jangan lagi kau kejar-kejar aku. Lagi dia tak berguna. Hanya pembawa kesialan dalam keluarga saja. Coba kalau dia pu mama tuh beranak laki tidaklah susah hidupku seperti ini. Anak tidak jelas. Ragu juga dia tu anak sa ko bukan…”
Hatiku menjerit. Kenapa ayah berbicara kacau seperti itu. Aku teriak sekeras mungkin. Kain amis yang terikat di mulutku sudah basah entah kena air ludah atau air mataku.
“Tapi Bapa, bapa su yakin ko dengan begini. Ini nona masih kecil anak. Masih terlalu mudalah…” ujar seseorang yang lebih muda dan terlihat lebih sadar di pinggir perahu.