Aku ingin pulang. Pulang yang sebenarnya. Namun rumah yang mana, aku lupa!. Pernah dulu, dulu sekali, waktu masih belasan, sempat aku terhilang arah jalan pulang. Terlalu jauh melangkahkan kaki, ke tempat yang seharusnya tak aku singgahi. Tapi aku tetap bisa pulang ke rumah. Caranya, aku lupa!. Itu kepulanganku yang pertama. Tak ada senyum hangat menyambutku. Kenapa?... Aku lupa!. Semua biasa saja, sampai aku mengenal apa itu luka. Awal kepala dua. Aku mencinta aku berduka. Kata orang, cinta pertama itu sukar dilupakan. Sungguh. Bertemu si pembuat debaran hati masa abu-abu, kembali. Kupikir selalu membuatku binar. Nyatanya, hati kembali terkapar. Kenapa juga harus kembali berdebar ketika bersua yang hingga karenanya suatu senja pecah menjadi merah kehitaman. Sungguh amat luka pekatnya. Lantas aku berlari berharap menemukan ujung bumi. Tempat di mana aku bisa menepi. Seorang diri. Sunyi. Melewati ratusan hari. Tapi aku tetap bisa pulang. Caranya, aku lupa!.. Itu kepulanganku yang kedua. Masih tak ada senyum hangat menyambutku. Kenapa?... Aku lupa!. Semua tidak lagi menjadi biasa. Sunyi kini jadi sahabat paling setia. Menikmati luka yang tercipta masa awal kepala duaku dari sisi yang berbeda. Setiap hasratnya membuatku semakin ingin dan ingin melukai diri semakin gurih. Masih di dalam rumah. Tempat aku berpulang. Namun benar-benar seperti kura-kura saja aku rupanya. Aku terlalu takut untuk melihat seisi rumah…yang hanya penuh kepura-puraan. Melakukan semua yang sudah ada aturannya. Semua terasa kaku. Kalimat lisan sudah menjadi barisan kata-kata yang begitu tajam. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Detikdetik berubah menjadi sebuah peluru yang siap menembus nadi ketika satu hal saja salah di kacamata sesuatu yang bernama rumah. Hingga suatu pagi, di seperempat abadku, bertandanglah sebuah kisah yang menjanjikan gelak tawa pengganti sunyiku yang tercipta di kala lalu. Penuh pesona. Tak ada kisah sedih yang dibagikan untuk menemani hari-hari yang tak lagi keluarkan taringnya dihadapanku. Suka. Senang. Bahagia… Tapi itu bohong. Kembali aku keluar dari rumahku. Memberanikan diri menghadapi semuanya dengan gagah perkasa sambil membawa tulisan besar-besar di dada “Semua pasti baik-baik saja”. Rasa luka itu sudah terbiasa bercokol di jantung dan hatiku. Maka semakin menikmatilah diriku. Menari-nari di bawah guyuran hujan yang tak terasa sekalipun dinginnya. Meloncat-loncat seperti cacing kepanasan di dalam tanah. Hingga lagi-lagi aku terhilang arah. Semakin jauh dari yang namanya rumah. Benar-benar jauh. Seperti domba yang sesat. Sungguh tak tahu jalan kembali pulang. Aku lupa!. Lupa jalan kembali. Lalu aku bertemu kau. Di penghujung masa kepala duaku. Kau tahu jalan pulang. Tidak ada peta yang kau berikan padaku. Tapi kau tahu kemana harus melangkahkan kaki. Berkali-kali kau memegang tanganku untuk berjalan bersamamu. Tapi kutak mampu untuk melangkah. Aku ingin. Aku ingin sekali pulang. Tapi… Aku lupa Rumahku, rumah di mana tak ada senyum hangat untukku, tempat di mana aku harus selalu menjadi kura-kura… dan aku lupa cara melangkahkan kaki… bahkan bayanganku saja tak mau beranjak dari sini… tempat yang aku juga lupa apa namanya… Setidaknya di sini… aku bisa lupa segala lukaku. Mungkin pula hingga lupa keinginanku untuk kembali pulang. Pulang ke mana?. Aku lupa!. [caption id="attachment_210019" align="alignleft" width="300" caption="pic from google"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H