Sudah hampir satu jam aku termangu di bangku taman. Tatapanku tertuju ke arah anak-anak yang sedang berlari-lari kecil bermain bersama kupu-kupu yang berterbangan di sekeliling bunga yang bercorak warnanya. Sesekali aku tersenyum bahkan tertawa melihat polah para bocah yang menggemaskan itu. Tia, namamu... gadis mungil yang empat bulan lagi tepat berusia empat tahun selalu jadi fokus pandanganku. Pagi ini kamu memakai baju berwarna merah muda dan berbando kupu-kupu pemberianku seminggu yang lalu, cantik sekali. Wajahmu merah berseri terkena sinar mentari dan riang tawamu selalu renyah terdengar...polos. Tak bosan aku memandangmu meski aku harus berjam-jam ada di tempat ini. Dengan hati berdebar-debar, aku menghampirimu, gadis kecilku, dan dengan penuh semangat kuberikan pelukan hangat. Wah tante cantik dan wangi, Tia jadi pengen meluk terus, begitu katamu. Ah...Tia sayang, suaramu itu membuatku begitu menghargai hidup, setidaknya lebih daripada dahulu. Dengan senyum aku memberikanmu sebuah hadiah, sebuah buku gambar dengan satu set crayon. Kata Bu Dina, pengurus panti, kamu suka menyendiri dan asyik dengan kertas dan pensilmu, lalu membuat kertas itu menjadi penuh dengan cerita goresan imajimu dan hanya kamu yang mengerti. Dan sekarang, aku menikmati suasana yang indah memandangmu dari dekat sambil melihat tangan kecilmu bermain diatas kertas. Pernah suatu hari jemari imutmu menyeka air mataku saat aku tak mampu membendung haru ketika dua tahun yang lalu untuk pertama kalinya aku menemuimu di tempat ini. Ketika itu kamu sedang bercanda dengan seorang pengasuh dan seekor kelinci dan tanpa takut kamu memegang tanganku lalu mengajakku berlari mengejar kelinci itu ke taman. Dua tahun umurmu saat itu. Tak terasa, kamu tumbuh menjadi gadis mungil yang cantik, wajahmu, matamu, hidungmu, bibirmu, tidakkah kamu sadari Tia..., kamu duplikatku...malaikat kecilku. Tanpa dikenalkanpun, aku sudah tahu, kalau kamu, buah hatiku, yang kutinggalkan dengan sangat terpaksa di panti ini. Sejak saat itu hingga hari ini, aku selalu mengunjungimu, Tia. Tidak pernah tidak, meski ditengah kesibukanku sebagai seorang karyawan, aku selalu menyempatkan diri untuk menemuimu barang semenit saja. Kalaupun tidak, aku selalu memutar rekaman keceriaanmu, dan itu cukup mengobati kangenku. Tante, Tia mo gambar kupu-kupu biru yang lagi hinggap di bunga mawar kayak di situ tante, katamu sambil menunjuk taman bunga tempatmu biasa bermain. Boleh, kataku seraya memberikan crayon berwarna biru muda. Mataku tertuju pada sebuah gambar bulat tak beraturan berwarna merah, dan katamu itu adalah bunga mawarnya lengkap dengan tangkainya yang berduri dan ada sehelai daun bercokol. Ah, Tia, kamu memang anak yang cerdas. Sudah banyak gambar yang kamu buat, dan sudah kamu ceritakan pula setiap detailnya. *** Aku ingin membawa Tia tinggal bersamaku, kata laki-laki yang membuatku terkejut setengah tak percaya. Tidak ada yang boleh membawa Tia keluar dari tempat itu selain aku, siapapun orangnya, teriakku marah. Nafasku rasanya berhenti begitu melihat lelaki yang hampir lima tahun lalu meninggalkan diriku dan membawa pergi pelangi yang selalu menghiasi hari-hariku. Senja kelabu semakin membuat hatiku buram. Apalagi kata-kata Yanu, pria itu, masih terngiang di telinga dan pikiranku. Tidak..., setelah apa yang dia lakukan, dia tak boleh membawa Tia pergi. Echi, Tia akan bahagia bersamaku, dia akan memiliki keluarga yang lengkap, aku papanya, biar Tia tinggal bersamaku setelah aku meresmikan pernikahanku dengan Ratu... ah... kenapa selalu itu yang aku ingat. Kata-kata itu seakan menertawakan aku. Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak... *** Echi, kamu tidak boleh menikah sama Yanu, kalian itu bersaudara. Cinta yang kalian punya itu terlarang. Meski kalian bukan sedarah, tapi kalian adalah keluarga dan itu tidak baik buat hubungan keluarga yang sudah terjalin selama ini, kata mama bertahun-tahun yang lalu saat aku dan Yanu diam-diam memutuskan untuk menjalin kasih dan menikah tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Ternyata menikah bukanlah pilihan yang bijak, setidaknya baru kusadari setelah cinta yang aku miliki ternyata hanyalah cinta yang menggebu sesaat. Setelah tahu bahwa benih cinta terlarang itu tumbuh dalam rahimku, Yanu malah memutuskan untuk meninggalkan aku, karena tak kuasa melihat diriku tertekan akan hubungan yang tidak pernah direstui kedua orang tua. Kembalilah ke orangtuamu, aku gak mau kamu menderita karena pernikahan yang salah ini, ucap Yanu justru disaat-saat aku membutuhkannya. *** Aku memang berpisah dengan papamu Tia, namun tak semudah itu aku kembali ke pangkuan kedua orangtuaku, eyangmu. Aku memutuskan untuk hidup sendiri dan merawat janin dalam rahim ini sebaik-baiknya hingga aku melahirkan. Lahirlah kamu Tiara, yang lebih suka kupanggil Tia, yang kutitipkan di panti ini empat tahun yang lalu. Dan saat ini aku sedang mengamati tubuh kecilmu yang sedang asyik dengan crayonmu. Ya, hari ini, aku berniat membawamu keluar dari panti. Aku harus, sebelum Yanu datang dan lebih dulu membawamu pergi bersama wanita yang katanya bisa menjadi mama yang baik untukmu. Tidak, aku tidak rela gadis kecilku diambil siapapun. Tante Echi, ini gambar Tia yang baru, ujarmu seraya memberikan selembar kertas yang tak lagi kosong. Jdaarrrrrr..... bunyi guntur bergemuruh itu mengagetkanku sekaget aku melihat gambar yang kamu lukiskan... itu Papa Yanu dan Mama Ratu, yang ditengah itu Tia, papa dan mama mo jemput Tia nanti sore dan Tia mo diajak ke rumah yang besar yang ada taman bunganya juga banyak kupu-kupu, lebih banyak dari kupu-kupu di sini....bla...bla...bla... Yang kutahu detik itupun suara Tia menjauh...terbang...dan langitpun menangis untukku....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H