Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Quo Vadis Surau?

9 September 2014   08:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Surau adalah lembaga pendidikan tertua dalam sistem budaya Minangkabau dan juga di Nusantara. Ia merupakan tempat pengkaderan generasi muda Minangkabau pada masanya. Dalam adat dan budaya Minangkabau, surau memiliki tempat sentral sebagai tempat belajar agama, adat, silat, dan kehidupan anak-anak lelaki yang sudah baligh. Mereka dididik dalam institusi budaya dan agama sekaligus yang diwakili oleh lembaga surau.

Surau pada masa dahulu dapat disamakan dengan pesantren di Jawa. Surau merupakan lembaga pengkajian agama di mana santri-santri atau biasanya disebut “urang siak” menginap dan mendapat pendidikan dari seorang syaikh atau guru agama. Surau dalam khazanah kebudayaan Minangkabau menjadi tempat penyiaran agama dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam, khususnya ajaran tasawuf.

Bagi masyarakat Minangkabau, surau adalah tempat adat dan agama. Ia melengkapi keberadaan sebuah nagari. Sistem budaya Minangkabau yang berasaskan matrilineal mengharuskan anak-anak lelaki untuk tidur di surau. Di masa lalu, anak-anak lelaki Minangakabau tidak memiliki kamar di rumah ibunya. Kedewasaan seorang anak Minangkabau ditandai dengan kepergian mereka merantau setelah menjalani kehidupan di Surau.

Selain tempat ibadat, surau menjadi sarana pendidikan dalam pewarisan nilai-nilai budaya dari masa lalu ke masa kini. Surau biasanya dipimpin oleh seorang guru atau guru agama yang mumpuni di bidangnya. Surau menjadi saksi perubahan sejarah penyebaran Islam di Minangkabau. Islam lestari di Minangkabau salah-satunya lewat lembaga surau.

Dalam sejarahnya, lembaga surat amat lekat dengan penyebaran paham tarekat. Banyak surau yang menjadi markas tarekat tertentu seperti tarekat Syattariyah dan Naqsabandiyah. Surau Syaikh Burhanuddin Ulakan di Pariaman misalnya tempat pengajaran tasawuf aliran Syattariyah. Sementara beberapa surau di Bukittinggi menjadi markas tarekat tertentu.

Namun surau kini kian “tarandam”. Surau kesulitan untuk bertahan dalam modernisasi dan pembangunan di Minangkabau. Kebesaran surau kini seolah-olah hanya menjadi cerita masa lalu saja. Anak-anak lelaki tidak lagi tidur di surau melainkan di rumah orang-tuanya. Keberadaan lembaga pendidikan Islam modernis seperti madrasah dan pesantren telah mengubur keberadaan surau. Surau tidak lagi menjadi tempat pendidikan agama. Surau hanya menjadi sekedar tempat peribadatan dan dakwah semata.

Pada abad ke-20 misalnya, kemunculan madrasah-madrasah yang didirikan oleh kelompok Islam modernis telah mengakibatkan surau semakin tersisih dari perubahan zaman. Surau amat lekat dengan pendidikan Islam yang konservatif. Surau hanya mengajarkan agama tidak ilmu-ilmu umum. Akibatnya masyarakat Minangkabau mulai beralih ke sekolah-sekolah sekuler dan madrasah-madrasah yang memadukan ilmu umum dan agama. Madrasah-madrasah Islam modernis bahkan mendapat bantuan dana dari pemerintah kolonial Belanda karena dianggap sesuai dengan kebijakan pemerintah Belanda.

Hal ini mengakibatkan kekhawatiran pada masyarakat Minangkabau dewasa ini. Mereka takut surau akan hilang dari khazanah kebudayaan Minangkabau kontemporer. Mereka mencoba menghidupkan kembali lembaga surau sebagai pendidikan agama dan tempat pengajaran adat. Akan tetapi hal ini tidak mudah. Perlu pembaharuan pada lembaga surau sendiri. Surau telah lama ditinggalkan oleh generasi muda Minangkabau. Orang-tua Minangkabau bahkan lebih suka memasukkan anaknya ke madrasah atau lembaga pendidikan sekuler.

Surau mewakili generasi masa lalu masyarakat Minangkabau. Surau tidak bisa dilepaskan dari ajaran tarekat atau tasawuf. Surau ini mirip pesantren tradisional di Pulau Jawa. Santri-santri Surau menggantungkan diri dari pemberian masyarakat semata. “Urang siak” hidup dalam bedeng-bedeng yang didirikan dalam kompleks Surau. Mereka tidak mengikuti gaya hidup modern, melainkan bertahan dalam budaya ortodoksi Islam. Surau tidak mengeluarkan ijazah. “Urang siak” menghabiskan waktunya hanya untuk belajar agama. Tidak heran kemudian surau tergerus dalam perubahan zaman.

Surau pada umumnya dikelola oleh ulama tradisionalis atau yang disebut “kaum tuo”. Umumnya mereka tergabung dalam organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti). Mereka mencoba membangun kembali institusi surau. Namun mereka harus menyerah kepada kemajuan zaman. Mereka pun mendirikan madrasah.

Masuknya paham modernisme Islam telah mengakibatkan surau semakin terpinggirkan. Kaum modernis atau sering disebut “kaum mudo” mendirikan madrasah-madrasah dengan sistem pendidikan modern. Kaum modernis memadukan ilmu-ilmu umum dan agama dalam kurikulum madrasah. Madrasah semakin popular dan menggerus keberadaan surau.Muhammadiyah misalnya mendirikan madrasah-madrasah di hampir seluruh wilayah Minangkabau. Organisasi ini menjadi garda terdepan modernisme Islam di Minangkabau.

Menurut hemat saya, keberadaan surau dapat direvitalisasi kembali. Tentunya dengan melakukan pembaharuan terhadap peran dan fungsi surau di masa kini.Keberadaan surau perlu mendapat perhatian dari pemerintah, alim ulama, dan ninik-mamak (tetua adat).

Rantau Depok, 9 September 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun