Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Masyarakat Pembelajar

17 Juni 2016   23:46 Diperbarui: 17 Juni 2016   23:51 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Belajar adalah proses yang harus dilakukan seorang individu sepanjang hidupnya di dunia ini. Budayawan Jakob Soemardjo mengatakan manusia hidup untuk belajar bukan belajar untuk hidup. Seorang individu dapat belajar dari “Universitas Besar Kehidupan” tidak hanya di bangku sekolah atau universitas saja.

Betapa banyak orang yang berhenti belajar ketika sudah lulus dari sekolah dan perguruan tinggi. Mereka tidak pernah mengembangkan diri lagi. Mereka tidak pernah membaca dan menulis lagi. Mereka menganggap pekerjaan bukan tempat untuk mengembangkan diri melainkan hanya untuk mencari uang. Akhirnya mereka terjebak pada zona nyaman (comfort zone) yang menyebabkan mereka tidak mampu mencapai jabatan yang lebih baik. Mereka akhirnya jadi mediocre atau mereka yang kemampuannya hanya setengah-setengah.

Padahal belajar dapat dilakukan di mana saja dan kepada siapa saja. Betapa banyak orang yang berpendidikan rendah tapi karena mereka terus belajar akhirnya dapat mempunyai posisi yang mulia di tengah-tengah masyarakat. Buya Hamka adalah salah-satunya. Ulama besar ini tidak pernah menamatkan pendidikan formalnya. Tapi ia terus membaca dan menulis hingga akhirnya menjadi ulama dan penulis novel yang karya-karyanya mempengaruhi perjalanan sastra Indonesia. Begitu pula dengan D. Zawawi Imron, seorang penyair dari Madura. Ia hanya berpendidikan formal sekolah dasar. Namun ia terus mengeksplorasi kemampuan dirinya hingga menjadi penyair besar yang sering diundang ke mancanegara.

Sesungguhnya sekolah atau perguruan tinggi dapat mematikan kreativitas seseorang kalau ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata. Oleh karena itu, pendidikan informal yang ia dapat dari berorganisasi, membangun jaringan, adalah sesuatu yang amat penting. Yang terpenting lagi seorang individu harus mempunyai visi atau bayangan apa yang ia inginkan dalam jangka waktu tertentu.

Seorang individu yang sukses selalu belajar dari lingkungan, baik lingkungan pekerjaan atau dunia saat ini dengan cara banyak membaca, baik membaca buku atau membaca lingkungan . Proses membaca ini adalah sesuatu yang amat penting. Seseorang bisa memperoleh ilmu yang banyak dengan membaca, tak peduli apa pendidikan formalnya. Betapa banyak cendekiawan, pengusaha, politisi, guru, ulama yang pendidikan formalnya rendah tapi karena ia terus bekerja dan membaca akhirnya menjadi sukses di bidangnya masing-masing.

Yang perlu ditanamkan dalam diri seorang individu adalah kemampuan berpikir merdeka. Ia tak perlu terpengaruh dengan orang lain. Seorang individu yang tercerahkan bertanggungjawab kepada Tuhan yang telah memberinya kehidupan. Sekolah dan perguruan tinggi sering kali memberi pelajaran untuk dihapalkan. Tetapi dalam kehidupan bermasyarakat kemampuan berpikir merdeka dan kritis sangat diperlukan. Sekolah dan universitas memberi kita buku teks, namun di dalam kehidupan bermasyarakat kitalah yang perlu mengembangkan pemikiran yang pernah kita dapatkan dari buku-buku teks  itu.

Bangsa Indonesia sepertinya tidak pernah belajar dari sejarah. Kita seharusnya memperhatikan apa yang dikatakan cendekiawan  Soedjatmoko. Kita perlu menjadi bangsa pembelajar (a learning nation). Bangsa Indonesia saat terus belajar dari kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu. Kita perlu menjadi “masyarakat pembelajar” (learning society). Masyarakat Jepang adalah contoh bagaimana sebuah masyarakat belajar dari kesalahan masa lalu. Jepang adalah bangsa yang tertib. Mereka suka membaca dan mengeksplorasi. Mereka tidak takut gagal bahkan berusaha berulang kali sampai berhasil. Begitu pula dengan bangsa Tiongkok.

Sayangnya, masyarakat Indonesia terlalu lunak/lembek. Dalam klasifikasi Gunnar Myrdal, bangsa kita termasuk dalam “negara lunak” (soft state). Kita tidak mempunyai kepribadian yang kuat dalam penegakan hukum, kemandirian ekonomi, dan kedaulatan politik. Para pemimpin kita cenderung manut saja terhadap apa yang dikatakan orang asing kepada kita asalkam mendapatkan pinjaman atau hutang luar negeri.

Hukum yang kita terapkan saat ini terlalu lembek, tidak mengakibatkan efek jera. Negara menghukum para koruptor dengan hukuman yang ringan sementara mereka telah menjarah uang negara hingga bermilyar-milyar. Rakyat kita cenderung kompromistis terhadap koruptor dan pelaku kejahatan lainnya. Pemerkosa dan pembunuh hanya dihukum ringan.

Bangsa-bangsa maju adalah bangsa yang “keras” terhadap dirinya sendiri. Mereka melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk menjadi bangsa maju, Mereka belajar dan mempraktekkan apa yang mereka pelajari untuk memajukan diri mereka sendiri. Kita bisa belajar dari China mengenai keberhasilan mereka menjadi bangsa yang terbesar dalam bidang perdagangan dan industri. Pemerintah komunis China menghukum mati para koruptor tanpa ampun. Para pemimpin mereka lebih mengutamakan kepentingan negara daripada pribadi dan golongan.

Pendidikan yang sesungguhnya adalah yang membebaskan manusia untuk berkreasi dan berpikir merdeka. Bukan sekedar penghapal tanpa mampu mengembangkan ilmu yang didapatkannya. Sistem pendidikan kita mendidik orang seperti beo, bukan seperti elang yang bebas terbang ke mana saja. Sudah saatnya kita menjadi manusia pembelajar dan kemudian menjadi masyarakat pembelajar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun