Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Taufiq el-Hakim, Sastrawan Besar Mesir

18 Agustus 2016   16:52 Diperbarui: 18 Agustus 2016   17:10 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Taufiq el-Hakim adalah seorang sastrawan besar Mesir. Lahir tahun 1897 di Iskandariyah. Ia sebenarnya seorang sarjana hukum yang kemudian meraih gelar doktornya di Perancis. Jiwa seni dan sastranya terasah sejak di Perancis. Sepulang dari negeri itu, ia menjadi anggota Majelis Tinggi Seni dan Sastra.

Karya-karya tulisnya amat banyak di antaranya, Ahlul Kahf (drama), Kembalinya Sang Arwah, Burung dari Timur, Mac dan Cleopatra (cerpen), Dunia Sandiwara (cerpen), dalan lain sebagainya.

Salah-satu buku yang pernah ditulis oleh Taufiq el-Hakim adalah “Sang Tongkat” yang  telah diterbitkan oleh Penerbit Navila Press. Buku ini berupa dialog antara Sang Tongkat dengan seorang lelakinya. Dialog yang jenaka ini sebenarnya sindiran terhadap kondisi sosial, politik, dan budaya Mesir. Sindiran itu masih amat mengena hingga kini bahkan bagi masyarakat negara-negara berkembang. Menurut editor buku ini, sindiran Taufiq el-Hakim tentang kondisi Mesir sebenarnya juga sesuai untuk bangsa Indonesia. Bahasa yang digunakan amat lugas dan jernih serta amat sastrawi.

Dialog antara “Sang Tongkat” dengan  lelaki tua itu berkisar dalam banyak hal. Mereka membicarakan kondisi masyarakat di waktu lampau dan kesinambungannya dengan  masa kini. Uniknya, dikisahkan dalam buku ini berupa dialog-dialog imajiner dengan tokoh-tokoh yang telah lama mati, seperti Hitler, Cleopatra, Henry Ford, dan Qasim Amin.

Mereka memperbincangkan banyak hal dari politik sampai seni.  Dari kehidupan mereka di masa lampau, dan mengapa mereka melakukan itu semua. Betapa banyak warisan menghancurkan umat manusia seperti Hitler namun banyak juga mewariskan hal-hal yang bermanfaat dan monumental untuk generasi sekarang dan masa depan. “Sang Tongkat” mengkritisi kehidupan mereka. Qasim Amin pun tak luput dari kritikan “Sang Tongkat”.  

Salah-satu tulisan dalam buku “Sang Tongkat” adalah mengenai perubahan masyarakat (Mesir) yang lebih suka minum perahan limun, daripada perahan akal. Perahan akal di sini adalah simbol ilmu pengetahuan, pemikiran, kebijaksanaan dan sejarah masa lampau. Menurut Taufiq, hal ini sangat mengkhawatirkan.

Hal yang sama juga terjadi di negeri kita, masyarakat Indonesia tidak suka perahan akal, melainkan  disebut perahan soda, jus, kopi,  atau makanan siap saji daripada melahap buku-buku berisi pemikiran orang-orang besar di masa lampau,. Mereka lebih suka mengkonsumsi  barang-barang mewah daripada menggunakan akalnya.

Taufiq el-Hakim sebagai seorang intelektual amat menyayangkan hal tersebut. Fenomena demikian bukan hanya di kalangan masyarakat awam saja, tetapi juga di kalangan mahasiswa dan sarjana. Banyak sarjana yang tidak membaca buku setelah lulus dari universitas. Mereka mengutuk kampus. Dunia kerja tidak membutuhkan pemikiran teoretis. Yang dicari adalah mereka mau bekerja sesuai dengan arah pimpinan. Pada akhirnya para sarjana melupakan ilmu yang mereka dapatkan dari kampus. Banyak orang berpikir bahwa ilmu pengetahuan tidak mempunyai kegunaan praktis. Ilmu lebih banyak bersifat teori yang menjelaskan sesuatu ketimbang memberi arahan untuk pengambilan keputusan.

Menurut Taufiq, ketika sebuah bangsa tidak lagi memperhatikan buku-buku dan pemikiran dari para cendekiawan masa lampau, ini berarti kehancuran bagi bangsa tersebut. Pendapat Taufiq ini benar sekali. Bangsa yang bodoh dan konsumtif lebih dikuasai bahkan tanpa senjata sekalipun. Mereka bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga di Indonesia dan negara-negara dunia ketiga. Rakyat di negara-negara tersebut disuguhkan berbagai tontonan yang merusak, seperti telenovela, sinetron, infotainment, opera, dan musik untuk melemahkan mental generasi muda.

Pendapat Taufiq el-Hakim masih bergema hingga kini. Nagouib Mahfouz bahkan mengatakan bahwa Taufiq-lah yang sebenarnya berhak mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra. Karya-karya Taufiq el-Hakim amat relijius bahkan ada yang terinspirasi dari al-Qur’an. Nuansa Islam dalam karya-karya Taufiq lebih kental dibandingkan sastrawan dan intelektual Mesir lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun